Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yangon - Sedikitnya 24 orang etnis Rohingya tewas menyusul operasi militer aparat pemerintah Myanmar pada Senin, 9 Oktober 2016. Operasi militer ini sebagai balasan atas serangan orang tidak dikenal terhadap tiga pos polisi di dekat perbatasan Bangladesh sehari sebelumnya.
"Pagi ini, sekitar pukul 06.00 waktu setempat, tiga truk aparat keamanan tiba di Kampung Myothugyi, sekitar 1,6 kilometer di timur Kota Maungdaw. Tujuh orang ditembak mati," kata U Zaw Oo, warga Rohingya di Maungdaw.
"Situasi pekan ini senyap dan semua penduduk muslim hanya berada di rumah karena kami sangat takut kepada pasukan keamanan," ujar U Zaw Oo seperti dilansir NY Times, 10 Oktober 2016.
Baca: Rusia Buka Kembali Pangkalan militernya di Vietnam dan Kuba
Hafizul, warga Rohingya yang bekerja sebagai relawan organisasi kemanusiaan internasional, mengatakan para korban tewas setelah berusaha melarikan diri dari pasukan keamanan yang memasuki desa.
Kepala polisi Myanmar, Mayjen Zaw Win, mengatakan sembilan petugas kepolisian dibunuh secara brutal dan delapan milisi tewas. Zaw Win mengatakan para penyerang menggunakan 62 jenis senjata dan 10 ribu butir amunisi selama serangan. "Para penyerang menggunakan pedang, tombak, dan senjata api rakitan," tutur Jenderal Zaw Win saat konferensi pers pada Minggu malam.
Baca: Jabat Tangan Dua Menteri Ini Dihujani Kecaman
Zaw Win tidak mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab terhadap serangan tersebut. Namun dia mengatakan para penyerang meneriakkan, “Rohingya! Rohingya! dan menggunakan bahasa Bengali.”
Rohingya mendapat perhatian internasional setelah lebih dari 300 orang tewas dan ratusan ribu orang terluka setelah seorang wanita Buddha diperkosa dan dibunuh di negara bagian Rakhine pada Juli 2012.
Pemerintah Myanmar sendiri enggan menggunakan kata Rohingya. Sebaliknya, pemerintah mengklaim mereka sebagai kaum Bengali dari Bangladesh.
Kekerasan terbaru ini adalah yang terburuk selama masa pemerintahan Aung San Suu Kyi sejak Maret lalu. Suu Kyi membentuk komisi penasihat di negara bagian Rakhine di bawah pimpinan Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB.
NY TIMES | YON DEMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini