Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, - Korban perbudakan seksual masa perang di Korea Selatan berhasil meraih kemenangan resmi pertama mereka pada Jumat melawan pemerintah Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan Distrik Pusat Seoul memerintahkan Jepang untuk memberikan ganti rugi sebesar 100 juta won (Rp 1,2 miliar) masing-masing kepada 12 wanita yang diseret dari rumah mereka dan dipaksa bekerja di rumah bordil militer garis depan untuk tentara Jepang selama Perang Dunia II.
"Bukti, materi yang relevan, dan kesaksian menunjukkan bahwa para korban menderita rasa sakit mental dan fisik yang ekstrim dan tak terbayangkan akibat tindakan ilegal oleh terdakwa. Tetapi tidak ada kompensasi yang diberikan atas penderitaan mereka," kata pengadilan dalam sebuah putusan dikutip dari Yonhap, Jumat, 8 Januari 2021.
Dalam putusan pertama negara itu, pengadilan menolak klaim Jepang bahwa kasus tersebut harus dibatalkan berdasarkan kekebalan kedaulatan, sebuah doktrin hukum yang memungkinkan sebuah negara kebal dari gugatan perdata di pengadilan asing. Pengadilan memandang aturan tersebut tidak boleh diterapkan pada kejahatan yang sistematis terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Menanggapi putusan itu, Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Takeo Akiba memanggil Nam Gwan-pyo, utusan utama Korea Selatan di Tokyo, dan mengajukan protes atasnya. Dia mengatakan kepada duta besar bahwa keputusan pengadilan tidak dapat diterima serta kecewa karena pengadilan Seoul menolak konsep kekebalan kedaulatan.
Dalam konferensi pers, Katsunobu Kato, juru bicara pemerintah, mengatakan Jepang tidak akan mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Seoul Desak Jepang Akui Perbudakan Seks di Asia
Pemerintah Jepang menyatakan bahwa kasus perbudakan seksual ini telah diselesaikan secara permanen melalui perjanjian bilateral pada 2015 dengan pemerintah Korea Selatan saat itu. Namun para korban menilai perjanjian itu tidak memadai, dan merasa tidak ada permintaan maaf yang tulus dari Jepang serta suara mereka diabaikan dalam proses negosiasi.
Sementara pengadilan memandang bahwa perjanjian tingkat negara bagian, termasuk perjanjian pascaperang 1965 antara Seoul dan Tokyo, tidak mengesampingkan hak para korban untuk mencari reparasi dari Jepang atas kesulitan mereka.
Pemerintah Seoul mengatakan mereka menghormati keputusan pengadilan dan akan berusaha memulihkan kehormatan dan martabat para korban.
Pemerintah Seoul menjelaskan kesepakatan 2015 dengan Tokyo sebagai perjanjian resmi pemerintah ke pemerintah dan menjanjikan upaya untuk melanjutkan kerja sama yang konstruktif dan berorientasi masa depan bagi kedua negara.
Massa di Seoul menyambut baik keputusan pemerintah Korea Selatan pada 21 November 2018, untuk membubarkan yayasan yang bertugas menyelesaikan masalah Jugun Ianfu, korban perbudakan seks oleh pasukan Jepang selama perang. (Kyodo News)
Perkara ini bermula saat para korban mengajukan petisi untuk penyelesaian perselisihan pada Agustus 2013, di mana mereka mengklaim bahwa mereka ditipu atau dipaksa menjadi budak seksual, dan menuntut mereka diberi kompensasi masing-masing 100 juta won atas penderitaan mereka.
Namun, kasus ini baru bisa dibawa ke pengadilan pada Januari 2016, karena Tokyo belum secara resmi menanggapi korespondensi pengadilan Korea Selatan.
Pengadilan mengadakan sidang pertama atas kasus tersebut pada April tahun lalu.
Hanya lima dari 12 penggugat yang masih hidup. Di Korea Selatan, ada 16 korban selamat yang terdaftar di pemerintah. Adapun menurut sejarawan, ada sekitar 200 ribu korban perbudakan seksual Jepang yang kebanyakan dari Korea.
YONHAP
https://m-en.yna.co.kr/view/AEN20210108003353315?section=national/national