Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kohei Kirimoto, seorang pengrajin lacquerware atau kerajinan lak generasi ke-8, memeriksa sisa-sisa studionya yang luluh lantak akibat gempa dan kemudian terbakar di kota pesisir Jepang, Wajima, Kamis, 4 Januari 2024. Ia tidak sedang mencari benda kerajinan pernis yang tersisa, tapi sedang mengkhawatirkan kucing-kucingnya yang hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bengkel berusia seabad, yang terkenal di seluruh dunia karena peralatan pernis tradisionalnya, tak bersisa setelah gempa pada Tahun Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kirimoto membagikan makanan dan air tidak hanya untuk ketiga kucing yang tinggal di rumah dan ruang kerjanya, namun juga untuk puluhan komunitas kucing yang tinggal di pasar pagi "Asaichi" di Wajima, yang terkenal dengan deretan kios makanan lautnya yang berkelok-kelok, makanan ringan dan kerajinan tangan.
“Kehangatan masyarakat di daerah ini dan di daratan tercermin dalam kehidupan sehari-hari kucing-kucing tersebut,” kata Kirimoto, 31 tahun. “Saya ingin membantu kucing-kucing yang bersembunyi di suatu tempat untuk kembali ke kehidupan sehari-hari mereka.”
Wajima adalah salah satu komunitas yang paling terkena dampaknya ketika gempa berkekuatan 7,6 skala richter melanda Jepang tengah pada sore hari Tahun Baru, yang merupakan gempa terkuat yang pernah terjadi di negara ini sejak bencana Fukushima tahun 2011. Hampir 100 orang tewas dan pencarian korban selamat terus berlanjut.
Gempa tersebut mencapai angka tertinggi pada skala intensitas, membuat jalan-jalan menjadi bengkok dan merobohkan ratusan bangunan. Namun mungkin kerugian budaya terbesar adalah kebakaran besar yang menghanguskan sebagian besar pasar Asaichi yang berumur 1.000 tahun.
Keluarga Kirimoto telah menjadi andalan di Wajima selama lebih dari 200 tahun, memproduksi mangkuk dan furnitur kayu "urushi" yang dipoles halus dan merupakan warisan budaya negara tersebut. Kirimoto sendiri telah mendapatkan pengakuan internasional karena memadukan seni tersebut dengan perhiasan dan tas karya desainer top.
Sambil mengamati reruntuhan, dia mengatakan warisan kuno dan ketenarannya jauh dari pikirannya.
“Saya tidak khawatir tentang alat dan seninya,” katanya. “Saya bisa menciptakan kembali karya-karya itu sebanyak yang saya mau. Saya hanya memikirkan kehidupan, hanya kehidupan kucing.”
Saat Kirimoto berjalan berkeliling membagikan makanan untuk kucing-kucing itu, beberapa teman dan kenalan berhenti untuk mengobrol. Bersama-sama menyaksikan kehancuran yang terjadi, mereka diingatkan akan pekerjaan yang harus dilakukan setelah guncangan awal akibat bencana tersebut.
“Saat ini, pikiran kami kosong,” katanya. “Tetapi kita perlu mengingat gambaran ini dalam pikiran kita, merekamnya dengan snapshot, dan kemudian memulai proses pemulihan. Itu saja yang perlu dilakukan.”
Wajima baru-baru ini bangkit kembali dari krisis COVID-19 yang membuat kota ini kekurangan wisatawan dan perdagangan. Wabah ini juga membawa dampak buruk, namun sedikit terbantu dengan kehadran kucing, kata Kirimoto.
Dua di antaranya dia adopsi baru-baru ini dari kuil terdekat. Kucing berusia tiga tahun lainnya adalah teman tetapnya selama pandemi ini.
“Saya bersyukur atas semua kebahagiaan yang mereka berikan kepada saya,” katanya sambil menangis tersedu-sedu. "Aku bersyukur."
REUTERS