Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Peti Mati Peta Nepotisme

Chandrika Kumaratunga digoyang isu korupsi. Agama pun dibawa-bawa.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA ''nepotisme" bisa memiliki makna positif. Setidaknya itu yang dikatakan seorang pejabat tinggi Sri Lanka untuk membela presidennya. Dalam wawancara televisi pekan lalu, D.M. Jayaratne--Sekretaris Umum Partai Aliansi Rakyat, yang berkuasa—mengagetkan pemirsanya. Menteri Pertanian dan Urusan Tanah itu mengatakan, ''Tidak ada salahnya para menteri menempatkan sanak keluarga serta orang kepercayaannya pada posisi strategis lingkungan elite." ''Dengan cara itu, mereka menjaga kepentingan serta keamanan mereka," ujarnya. Tak sampai di situ. Menurut Jayaratne, bahkan agama Buddha, yang dianut mayoritas negeri itu, ''Mengajarkan bahwa nepotisme itu baik adanya, meski kita harus tahu batas-batasnya." Pembelaan menggebu-gebu terhadap nepotisme itu tidak muncul dari ruang kosong. Sehari sebelumnya, Partai Nasional Bersatu, yang beroposisi, menuntut penghidupan kembali badan antikorupsi negara itu untuk menyelidiki praktek nepotisme Presiden Chandrika Kumaratunga. Melalui sebuah saluran televisi swasta, mereka memperdengarkan rekaman percakapan antara seorang penasihat senior presiden dan beberapa orang lain. Dalam percakapan itu, dibahas pemberian izin siaran pada sebuah saluran televisi, Saluran Sembilan, yang—karena dianggap tidak melalui prosedur normal—diduga menyembunyikan permainan uang dan nepotisme. Ranil Wickremesinghe, pemimpin Partai Nasional Bersatu, memang bersemangat menggunakan kasus ini untuk membongkar korupsi lebih besar, yakni dengan lebih dulu memberlakukan kembali badan independen antikorupsi. Pada 1994, Sri Lanka membentuk sebuah badan yang memiliki wewenang luas untuk menyelidiki tuduhan korupsi dan berbagai penyogokan. Namun, badan itu hanya berumur singkat. Tiga tahun kemudian, dia megap-megap, bahkan lumpuh sama sekali, menyusul sebuah perselisihan sengit antara pemerintah dan beberapa anggota badan itu pada 1996. Kala itu, pemerintah menuntut pengunduran diri sejumlah anggota, tapi ditolak karena mereka merasa diangkat melalui konstitusi untuk masa jabatan lima tahun. Pemerintahan Chandrika dibuat penasaran karenanya. Namun, tak putus akal, pemerintah menarik staf pendukung badan itu yang tak diangkat melalui konstitusi. Seketika, badan independen ini megap-megap kehabisan darah. Bayangkan saja, tidak ada sekretaris atau pesuruh kantor. Dan yang lebih parah, penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan yang dipekerjakan pada badan ini pun menghilang dari lingkungan mereka. Menarik bahwa situasi seperti itu berlangsung tanpa perhatian siapa pun, sampai kira-kira dua bulan lalu. Waktu itu, partai oposisi menemukan kasus saluran televisi yang mencurigakan, dan menjadikannya ujung tombak penyerang pemerintah, tapi tak memiliki tenaga untuk mendorong tombak tersebut. Ketika menghubungi badan antikorupsi untuk menyelidikinya, mereka mendapat jawaban mengecewakan dari Rudra Rajasingham, salah seorang pejabatnya: ''Badan ini tidak dapat memenuhi permintaan Anda. Sebab, semua pejabat penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan sudah ditarik kembali pada 1997. Dan kami belum mendapatkan penggantinya." Demo pun digelar. Pada awal Agustus, pendukung Partai Nasional Bersatu membakar sebuah peti mati yang melambangkan badan independen antikorupsi yang lumpuh itu. Dan pekan lalu, Wickremesinghe menuntut agar pemerintah mengangkat orang-orang baru pada badan ini karena masa jabatan anggota yang sekarang akan berakhir November depan. ''Kami mengharapkan agar pemerintah berkonsultasi dengan pihak oposisi dalam hal ini," katanya. Sementara itu, media sudah keburu ramai membicarakan adanya praktek-praktek nepotisme dalam pemerintah. Para pendukung oposisi menuding peta elite pemerintah: Presiden Chandrika Kumaratunga adalah putri Sirimavo Bandaranaike, mantan perdana menteri. Sebaliknya, pendukung pemerintah mengingatkan lawan politiknya bahwa ''kekeluargaan" itu juga dikenal dalam lingkungan partai oposisi. Ketika perdana menteri yang pertama, D.S. Senanayake, meninggal karena kecelakaan pada 1952, dia digantikan oleh putranya, Dudley Senanayake. Setahun kemudian, Dudley mundur dan digantikan pamannya, Sir John Kotelawala. Rakyat yang tidak suka menjuluki partai itu ''Partai Paman-Keponakan". Menteri Jayaratne boleh membela konsep nepotisme. Pemerintah pun boleh melumpuhkan badan independen antikorupsi. Tapi kasus ini sudah muncul di permukaan dan diangkat media. Pemerintahan Partai Aliansi Rakyat akan sukar menghindar dari tanggung jawab untuk menanganinya. Dewi Anggraeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus