Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta- Pernyataan Indonesia dalam menanggapi aneksasi empat wilayah Ukraina oleh Rusia dianggap masih bersayap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut ahli politik internasional dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, penilaian ini diambil setelah memperhatikan tanggapan Kementerian Luar Negeri RI ihwal pencaplokan empat wilayah Ukraina oleh Rusia seperti diumumkan oleh Presiden Vladimir Putin di Kremlin pada Jumat, 30 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fitriani menyebut sikap Indonesia mengenai aneksasi empat wilayah Ukraina - Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhzhia masih bisa dipahami berbeda. Sebab tidak secara eksplisit menyebut Rusia, negara yang melakukan pencaplokan itu.
"Indonesia untuk saat ini perlu menyatakan ketidaksetujuannya atas aneksasi 4 wilayah (Ukraina oleh Rusia)," kata Fitriani kepada Tempo, Selasa, 4 Oktober 2022.
"Dengan tidak menyebutkan nama negara yang dimaksud, pernyataan Indonesia dapat disalahartikan. Indonesia bisa dianggap mendukung Rusia dan meminta Ukraina menghormati pernyataan kedaulatan Rusia atas 4 wilayah tersebut," katanya menambahkan.
Dalam pernyataannya, Kemlu menegaskan posisi Indonesia menghormati kedaulatan dan integritas wilayah negara lain. Di keterangan yang dibagikan melalui Twitter, Kemlu memang tidak menyebut kata 'Rusia' atau mengecam negara tersebut atas pencaplokannya terhadap wilayah Ukraina.
"Referendum tersebut melanggar prinsip piagam PBB dan hukum internasional. Referendum itu akan semakin menyulitkan penyelesaian konflik melalui perundingan dan akibatkan perang semakin berkepanjangan, yang akan merugikan semua pihak," tulis Kemlu RI di Twitter, Minggu, 2 Oktober 2022.
Fitriani menilai, RI selalu berusaha untuk menjalankan doktrin kebijakan luar negeri bebas aktif sehingga memegang prinsip damai dan inklusif. Rangkaian cuitan Kemlu itu dianggap senafas dengan pernyataan kementerian tersebut pada awal konflik terjadi.
Lawatan Presiden RI Joko Widodo dan diplomasi ulang-aliknya ke Moskow dan Kyiv pada Juli lalu, menurut Fitriani, adalah salah satu upaya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Namun peneliti CSIS itu menyebut, pernyataan Putin yang mengambil alih empat wilayah Ukraina membuat peta kekuasaan kembali berubah dan Indonesia perlu untuk menyatakan kekhawatirannya.
Warna-warni kembang api menghiasi langit dekat patung Laksamana Admiral Pavel Nakhimov saat perayaan satu tahun referendum Krimea di Sevastopol, Krimea, 18 Maret 2015.Presiden Rusia Vladimir Putin dan ratusan ribu warga memadati pudat kota Moscow untuk merayakan satu tahun aneksasi semenanjung Krimea. AP/Alexander Polegenko
Tensi perang Ukraina makin meninggi setelah Presiden Rusia Vladimir Putin beberapa waktu lalu mengumumkan mobilisasi militer parsial untuk mendongkrak perang Ukraina. Warga Rusia banyak yang protes dan kabur dari tanah airnya karena menolak wajib militer.
Pencaplokan empat wilayah Ukraina oleh Rusia memanaskan ketegangan dua negara sama-sama bekas Uni Soviet itu. Tak lama setelahnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengumumkan pengajuan jalur cepat keanggotaan blok militer Barat, NATO.
Berbeda dengan pendapat Fitriani, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana justru mengatakan Indonesia perlu mengambil sikap netral. Artinya, tidak mendukung maupun mengecam hasil referendum tersebut.
"Sikap mempertahankan status quo karena Indonesia sebagai Presiden G20 ingin memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak yang berseteru di Bali pada pelaksanaan KTT G20 November," ujar Hikmahanto dalam pernyataan yang diterima Tempo.
Dia menambahkan, Indonesia perlu mengambil posisi tidak berpihak agar Rusia dan Ukraina nyaman melakukan pembicaraan dan menyepakati solusi pengakhiran perang.
Sementara pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah berpendapat, posisi non-blok memungkinkan Indonesia tidak terikat dengan dorongan mana pun.
Tidak adanya kecaman dari Indonesia terhadap Rusia, seperti di Sidang Umum PBB, melepas kesan keberpihakan kepada negara-negara Barat."Kalau pun kita mengkritisi Rusia, itu berbicara empat mata," kata Rezasyah kepada Tempo belum lama ini.
Fitriani memahami posisi sulit yang dialami Indonesia. Di samping ingin mengecam, di sisi lain Jakarta juga membutuhkan Rusia untuk berpartisipasi dalam pertemuan G20 tahun ini. Langkah ini dianggapnya juga bakal tetap menjaga hubungan baik sebagai mitra wicara ASEAN, di mana Indonesia memegang keketuaan tahun depan.
Mengenai misi perdamaian dalam konflik Rusia-Ukraina, akademisi lulusan Cranfield University itu setuju Indonesia perlu merencanakannya lebih lanjut. Menjaga hubungan baik dengan keduanya juga penting agar dua belah pihak bisa dipertemukan.
Total wilayah yang dicaplok Rusia adalah sekitar 15 persen dari teritorial Ukraina. Aneksasi itu ditolak mentah-mentah oleh Ukraina dan negara-negara Barat, yang menilainya sebagai tindakan ilegal. Amerika Serikat, Inggris dan Kanada pun mengumumkan sanksi baru.
DANIEL AHMAD