Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPAT pukul 12.37 Ahad silam, kendaraan lapis baja terakhir marinir AS bergabung dengan satuan tugas Armada Keenam di lepas pantai Beirut. Berakkir sudah mimpi buruk yang menghantui para marinir itu sejak mereka ditempatkan di bandar udara Beirut, 17 bulan berselang. Betulkah? Di Washington, Presiden Ronald Reagan menegaskan, marinir AS tidak mundur, "cuma pindah ke tempat yang lebih bisa dipertahankan." Seakan prihatin dengan situasi yang menimpa Llbanon sekarang presiden AS itu menambahkan bahwa sewaktu-waktu akan mengirim marinir kembali jika itu dimaksudkan untuk melaksanakan misi perdamaian. Kini perdamaian itu adalah sesuatu yang hampir mustahil untuk Libanon. Tiga menit sesudah keberangkatan marinir, sebuah jip kelompok Syiah menggelinding ke posisi kosong yang ditinggalkan pasukan AS itu. Enam menit kemudian bendera Syiah Amal yang berwarna hijau itu sudah berkibar di menara pengawas. Dan selang satu jam kemudian, kapal perang AS New Jersey menghajar posisi Syria dengan tembakan meriam 16 inci. Menyadari situasi rawan ini, terutama setelah gencatan senjata yang baru diberlakukan Jumat berselang dilanggar, presiden Libanon Amin Gemayel (lihat: Kami adalah Pos Terdepan) minta Dewan Keamanan PBB segera mengirim pasukan perdamaian ke negaranya. Tentara itu kelak akan disebar ke se!uruh Libanon - tidak hanya di Beirut saja. Tapi Gemayel tampak masih harus sabar menunggu. Permintaan serupa sudah pernah dikemukakan Prancis beberapa waktu lalu. Dan jawabannya masih belum terdengar. Sementara Gemayel berharap, perang saudara di Libanon berlanjut terus. Tentara pemerintah yang bertahan sepanjang jalu hijau terlibat kontak artileri dengan milisi Druze. Dikabarkan, anakanak Walid Jumblatt sepanjang Sabtu lalu menghujani permukiman Kristen di Beirut Timur dan kawasan Ashrafiyeh, dengan tembakan roket, sembari tetap berusaha merebut daerah strategis Souk ElGharb. Meski tentara Israel juga giat menembaki kedudukan pasukan Syria yang mendukung perlawanan Syiah dan Druze, peta medan pertempuran tidak banyak berubah dibanding pekan silam. Hanya saja, milisi antiGemayel semakin mantap, karena Brigade ke-6 tentara Libanon yang melakukan desersi (memihak kelompok Syiah Amal) justru bertengger di bekas pangkalan marinir AS. Singkat kata, Presiden Gemayel sudah terkepung. Gemayel, yang dijuluki Hamlet oleh majalah The Economist karena sikapnya yang selalu ragu-ragu, hari-hari belakangan ini juga semakin terkucil dari kelompok Islam Libanon. Masyarakat Suni, yang dulu menjalin kerja sama dengan kelompok Kristen Maronit, Sabtu lalu mengumumkan bergabung dengan kelompok Druze dan Syiah. Mereka juga mengimbau dibinanya hubungan erat dengan tetangga Syria seraya menandaskan bahwa perjanjian 17 Mei dengan Israel cukup membahayakan persatuan nasional Libanon. Berbeda dengan seruan masyarakat Suni Fady Frem, komandan sayap kanan Kristen menyerukan kerja sama dengan Israel untuk "menetralisasikan Syria." Lebih jauh Frem memastikan pola politik lama sudah gagal. Libanon, menurut dia, harus dipecah dan dibagi antara kelompok-kelompok agama yang berkuasa. "Libanon tahun 1943 tidak mungkin bertahan di tahun 1984," ucapnya yakin. Tokoh ini melihat Libanon sudah berada di tepi jurang krisis, sekalipun penengah Arab Saudi sedang mencari jalan keluar lain. Ada yang menyebut usul Arab Saudi, antara lain, penunjukan tokoh Syiah sebagai perdana menteri, pembatalan perjanjian 17 Mei dengan Israel, dan melanjutkan konperensi rujuk nasional Jenewa. Tapi ini masih akan dirundingkan dengan Gemayel yang kabarnya secara tidak langsung kini berada di bawah tekanan Syria. Bukankah ketiga usul Saudi itu sudah dibahas lebih dulu dengan presiden Syria Hafez Assad sebelum ditawarkan kepada Gemayel? Israel bukan tidak heran menyaksikan keunggulan Syria memantapkan pengaruh dalam tempo singkat. Melihat kedudukan Presiden Gemayel sudah begitu parah, Israel sampai pada kesimpulan hanya operasi gabungan AS--Israel dapat menyelamatkan tokoh Falangis itu. Walaupun demikian, sebegitu jauh belum ada tanda-tanda ke arah perencanaan operasi itu. Bahkan pasukan tank Israel, yang pekan silam menggebu dari arah selatan ke Beirut, belakangan diperintahkan meninggalkan inggiran ibu kota Libanon itu. Dalam eadaan tidak menentu seperti itulah Presiden Gemayel menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo