Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

’Mengkritisi’ Kamus Besar

26 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uu Suhardi

  • Redaktur Bahasa Koran Tempo

    Pekerjaan saya sehari-hari adalah bergelut dengan kata. Dan salah satu senjata utama- saya adalah kamus. Setiap kali sa-ya menghadapi lawan ber-ge-lut- baru, tanpa ragu saya mengguna-kan senjata andalan itu. Suatu hari sa-ya bertemu dengan kata mengkritisi dalam kalimat ”Dia mengkritisi- pe-merintah”. Maka saya keluarkan semua kamus yang saya miliki: Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (1994), dan Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1984).

    Sial, tak satu pun dari ketiga kamus itu mencantumkan kata mengkritisi di bawah entri kritis ataupun kritisi. Ya, sudah, saya singkirkan mengkritisi, lalu saya tampilkan mengkritik. Toh, maknanya idem dito. Tapi, pada hari-hari berikutnya, si mengkritisi muncul dan muncul lagi. Rupanya, ia tidak mudah ditaklukkan, maka saya harus mencoba menjadikannya teman.

    Saya keluarkan lagi sang Kamus Besar, yang biasanya paling ampuh dibandingkan dengan kedua kamus lainnya. Saya buka entri kritis. Begi-ni bunyinya: ”1 bersifat tidak lekas percaya; 2 bersifat selalu berusaha me-nemukan kesalahan atau kekeliruan; 3 tajam dalam penganalisisan.”

    Adapun entri kritisi bersuara sing-kat- saja: ”kaum kritikus”. Apakah mengkritisi sama dengan ”menyerupai kaum kritikus”? Tidak mungkin. Itu terlalu jauh dari konteks yang saya hadapi. Jadi saya simpulkan saja mengkritisi merupakan turunan dari kritis. Toh, saya sudah punya teman bernama mencermati, turunan dari cermat.

    Mengapa bukan mengkritik saja? Kan, sama persis maknanya? Menurut- Kamus Besar, mengkritik berarti ”menge-mukakan kritik; mengecam”. Di sinilah saya mulai berada di atas angin, siap menyingkirkan si mengkritisi.

    Rupanya, karena tidak mau dianggap- mengecam, orang yang mengkritik- pe-merintah itu lebih suka disebut bersikap- kritis. Dengan mengkritisi, dia selamat dari anggapan melakukan kecaman. Jadi mengkritisi merupakan penghalusan dari mengkritik. Oh, itu berarti mengkritisi masuk kelompok eufemisme. Padahal eufemisme sudah lama saya masukkan ke kuburan. Kenapa?

    Dalam konteks berita, eufemisme- akan mengaburkan makna yang sebe-narnya. Realitas yang kasar dan bu-ruk- menjadi halus. Sehingga khala-yak pembaca ataupun pendengar tidak bisa mengenali kenyataan yang sesungguhnya. Lebih jauh, eufemisme berpotensi menipu. Banyak contohnya: merelokasi, menertibkan (penghalus-an dari menggusur), mem-PHK (me-mecat), mengamankan (menangkap, menahan), mengentaskan (memberan-tas), mendisiplinkan (menghukum), menodai (memerkosa), memberi pelajaran (menggebuki), salah prosedur (korupsi), WTS, penjaja seks (pelacur), dan prasejahtera (miskin).

    Maka saya bunuh mengkritisi dan langsung saya benamkan ke liang ku-bur eufemisme. Mengapa saya begitu- kejam kepada mengkritisi? Sebab, sa-ya khawatir nanti ia merajalela dan kemudian menjadi parasit baru di Kamus Besar seperti mengamankan yang dimaknai ”menahan orang yang melanggar hukum demi keamanan…”. Mengamankan dalam arti demikian sulit sekali dimatikan karena sudah sah mengisi Kamus Besar.

    Ya, begitulah senjata andalan saya yang satu ini. Si Kamus Besar suka mengisi diri sendiri dengan amunisi yang justru bisa berbalik menyerang saya. Tapi tak apalah. Toh, anggota gerombolan eufemisme semacam meng-amankan yang hidup abadi itu belum terlalu merepotkan dibandingkan de-ngan musuh jenis lain yang kerap saya temukan saat bergelut dengan kata.

    Ini salah satunya: meneladani dalam kalimat ”Kita harus meneladani Rasul”. Ada kerancuan dalam kalimat itu. Tentu orang yang mengatakannya bermaksud menyatakan ”Kita harus menjadikan Rasul sebagai teladan”. Maka predikat yang tepat adalah meneladankan, seperti halnya menokohkan (menjadikan tokoh) dan meng-idolakan (menjadikan idola).

    Untuk memperkuat pendapat itu, saya buka senjata andalan saya. Dan ter-kaget-kagetlah saya. Ternyata, di- dalam Kamus Besar, meneladani ber-makna ”1 memberi teladan” dan ”2 mengambil teladan”. Bagaimana mungkin satu kata punya dua makna yang bertentangan?

    Sebelum makin bingung, saya me-nge-luarkan sekaligus dua senjata andalan yang lain. Namun, hanya Kamus Umum Poerwadarminta yang memuat sublema meneladani dengan ketera-ng-an ”memberi teladan”. Sedang-kan untuk ”mengambil teladan”, ada bentuk-an meneladan. Memang tidak ada subentri meneladankan. Tapi setidak-nya senjata saya yang paling tua itu, yang sudah berumur 22 tahun, sedikit lebih ampuh.

    Itulah alasan saya tidak hanya meng-andalkan Kamus Besar. Banyak kela-laian dalam kamus yang menjadi acuan utama pengguna bahasa Indonesia ini. Mau contoh lain? Di bawah lema khawatir, ada sublema mengkhawatirkan: ”1 khawatir terhadap suatu hal” dan ”2 menimbulkan rasa khawatir”. Silakan terka: apa makna mengkhawatirkan dalam kalimat ”Dia mengkhawatirkan saya”?

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus