Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUNGKAPAN kematian Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua merupakan pertaruhan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Jika ia tak berhasil mengungkap kasus yang menyeret nama Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo ini dengan terang benderang, citra kepolisian makin coreng-moreng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brigadir Yosua tewas di rumah dinas Ferdy di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 Juli lalu. Ia adalah sopir Putri Chandrawati, istri Ferdy. Polisi menyatakan Yosua terbunuh dalam baku tembak dengan Bharada Dua E, ajudan Ferdy. Sebelum tembak-menembak terjadi, Yosua disebut melecehkan dan menodongkan pistol ke kepala Putri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai kejanggalan muncul setelah polisi mengumumkan kematian Yosua tiga hari kemudian. Informasi polisi berubah-ubah dan berbeda dengan keterangan keluarga Yosua. Pada jenazah Yosua terdapat luka sayat dan lebam. Ia diduga disiksa sebelum tewas. Keluarga mendiang ditekan dan rumah mereka dikepung polisi.
Kasus ini sebenarnya sederhana dan mudah diselesaikan. Penyelidik hanya perlu menguji keterangan semua saksi untuk memastikan fakta sebenarnya dan mengumpulkan berbagai bukti. Namun sikap Polri yang menutup-nutupi kebenaran kasus ini justru mengundang berbagai spekulasi, termasuk munculnya dugaan persoalan asmara dan konflik internal di Korps Bhayangkara.
Keputusan Kapolri membentuk tim khusus yang menggandeng Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merupakan langkah positif. Namun, belum jauh tim ini bekerja, Sekretaris Komisi Kepolisian Benny Jozua Mamoto menyatakan hasil visum tak mengindikasikan Yosua disiksa. Pernyataan terburu-buru pensiunan polisi ini menimbulkan tanda tanya soal efektivitas tim bentukan Kapolri. Autopsi ulang wajib untuk memastikan penyebab kematian Yosua.
Dalam beberapa kasus, Polri cenderung membela para perwira tinggi yang bermasalah. Ketika Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Santoso terjerat kasus korupsi proyek simulator pembuatan surat izin mengemudi, polisi segera menggeruduk penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Begitu pula saat Budi Gunawan, kini Kepala Badan Intelijen Negara, menjadi tersangka gratifikasi, korps baju cokelat ramai-ramai menggeruduk KPK.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus memberikan keadilan bagi keluarga Brigadir Yosua. Ia tak boleh melindungi siapa pun yang terlibat dalam kematiannya. Kapolri seharusnya menonaktifkan Ferdy Sambo dari jabatannya meskipun ia belum tentu bersalah. Dengan begitu, Ferdy lebih sulit bermanuver untuk mempengaruhi pengusutan kasus ini.
Lebih baik lagi jika Ferdy mundur. Bagaimanapun kasus ini ikut menurunkan kewibawaan Divisi Profesi dan Pengamanan, yang bertugas mengawal disiplin dan profesionalisme Polri.
Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus memastikan dalang dan antek-antek di balik pembunuhan Brigadir Yosua dihukum. Ia juga harus memberi sanksi para petinggi Polri yang terkesan menutupi pembunuhan di rumah dinas Ferdy Sambo. Jika misteri pembunuhan Brigadir Yosua tak terjawab, publik akan mencatat bahwa janji Listyo memperbaiki Korps Tribrata hanya omong kosong belaka.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo