Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Bahaya Di Balik Rencana GBHN

Rencana menghadirkan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara terus menggelinding. Membunuh demokrasi lewat jalan demokrasi.

15 Oktober 2019 | 07.15 WIB

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model Garis-garis Besar Haluan Negara. (GBHN).
Perbesar
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model Garis-garis Besar Haluan Negara. (GBHN).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

RANGRANGAN menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Dicetuskan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam kongres di Bali, Agustus 2019, kembalinya GBHN akan diwujudkan lewat amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan ini akan membawa negara kita ke tatanan otoriter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ikhtiar mewujudkan ide itu tampak makin serius. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 2014-2019 Zulkifli Hasan sudah menyerahkan draf amendemen untuk dibahas MPR periode sekarang. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pun sigap bermanuver. Ia menyokong Bambang Soesatyo menjadi Ketua MPR periode sekarang dengan syarat khusus: bersedia mengamendemen konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalangan partai politik semestinya berpikir ulang untuk memunculkan lagi GBHN. Prinsip demokrasi yang hilang adalah mekanisme bottom-up dalam perencanaan pembangunan. Setelah reformasi 1998, perencanaan pembangunan diselenggarakan bertingkat dari desa hingga nasional demi menampung suara rakyat. Mekanisme ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

GBHN akan lebih cocok untuk rezim otoriter seperti di era Orde Baru. Haluan negara itu bisa dilaksanakan tanpa hambatan, bahkan bisa dijabarkan lebih rinci lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun. Hal serupa terjadi pada era Presiden Sukarno. Setelah membubarkan Konstituante dan memproklamasikan Demokrasi Terpimpin pada 1959, ia memberlakukan Haluan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Dengan adanya haluan negara yang kaku, arah pembangunan sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Rakyat hanya menjadi penonton. Dalam sejarahnya, pembuatan haluan negara banyak dilakukan negara-negara komunis tempat pemerintah mengontrol ketat bahkan menguasai rakyatnya.

Konsekuensi lain dari pemberlakuan GBHN adalah presiden akan kembali menjadi mandataris MPRsesuatu yang sudah kita tinggalkan selepas Orde Baru. Hal ini menyebabkan pemilihan presiden secara langsung menjadi tidak relevan sekaligus mengacaukan sistem presidensial. Buat apa presiden dipilih secara langsung jika ia harus tunduk pada GBHN dan tidak bisa memenuhi janjinya kepada pemilih?

Jangan heran bila banyak pengamat politik melihat GBHN hanyalah pintu masuk untuk perubahan yang lebih besar. Agenda yang lain boleh jadi penerapan pemilihan presiden oleh MPR. Bahkan sejumlah politikus menyebutkan amendemen juga akan mengubah masa jabatan presiden menjadi tujuh atau delapan tahun tapi hanya bisa dipilih satu kali. Jika benar-benar terjadi, pola ini akan menguntungkan Presiden Joko Widodo. Ia dapat dipilih lagi karena dua periode yang sudah dilaluinya tidak diperhitungkan dalam sistem yang baru.

Presiden Jokowi semestinya tidak tergoda iming-iming politik itu dan tidak membiarkan manuver yang mengobrak-abrik konstitusi. Dalih PDIP bahwa GBHN diperlukan untuk menangkal ideologi radikal sungguh tak masuk akal. Radikalisme agama berkembang luas jika hukum tidak ditegakkan. GBHN pun bisa diubah lagi jika partai pendukung radikalisme di kemudian hari menguasai MPR.

Dengan kata lain, sulit untuk tak menduga di balik rencana menghidupkan GBHN itu ada kehendak untuk memberangus demokrasi dengan memanfaatkan demokrasi. Kekuasaan akan kembali dipegang di satu kendali dan hak rakyat menentukan jalannya pemerintahan diberangus. Jika benar, rencana besar ini harus bersama sama kita tentang.

 

Catatan:

Ini merupakan artikel opini majalah tempo edisi 14-20 Oktober 2019

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus