Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bahaya Pemutusan Internet Melalui RUU Polri

Revisi UU Polri memperluas wewenang polisi hingga ke ruang siber. Berbahaya karena melegitimasi pemutusan Internet.

18 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR Mei lalu, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui perubahan ketiga atas UU Nomor 2 Tahun 2002. Revisi ini merupakan inisiatif DPR yang mengundang polemik. Salah satu klausul kontroversial dalam aturan tersebut adalah perluasan wewenang kepolisian hingga ke ruang siber, sesuai dengan Pasal 16 poin (q), yang mencakup penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah DPR menyisipkan pasal tersebut merupakan bentuk legalisasi pemutusan Internet yang selama ini belum diatur secara spesifik dalam undang-undang. Sebelumnya, pemerintah merujuk pada Pasal 40 ayat 2b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar pemutusan akses Internet di Papua pada 2019, sebelum akhirnya Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan tindakan tersebut melanggar hukum. Sebab, UU ITE yang dipakai pemerintah hanya mengatur pembatasan informasi atau dokumen elektronik yang melanggar hukum, tidak mencakup pemutusan akses jaringan Internet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan memasukkan ketentuan pemutusan akses Internet dalam aturan itu, DPR tak hanya mengabaikan resolusi PBB tahun 2016 yang mengecam praktik penutupan akses Internet. Langkah ini juga seolah-olah menjadi jalan pintas yang justru berisiko pada banyak sektor krusial dan masa depan hak asasi manusia. Apalagi di tengah kecenderungan pemerintahan yang otoriter, tindakan memutus akses Internet akan selalu mudah digunakan karena mereka memiliki kendali luas atas Internet lewat sektor swasta.

Setidaknya ada tiga alasan legalisasi pemutusan akses Internet tersebut berbahaya. Pertama, Internet adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Hak ini berkorelasi secara langsung dengan kepentingan publik yang lebih luas dan berdampak pada hak-hak fundamental, seperti kebebasan berekspresi, hak atas informasi, hak ekonomi, hak sosial, dan hak politik.

Saat ini hampir semua layanan publik mengandalkan jaringan Internet. Karena itu, pemutusan akses Internet, baik sebagian maupun total, akan mengganggu sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, perbankan, transportasi, dan sektor-sektor lain yang tak terhitung jumlahnya. Hak publik untuk mendapat layanan tersebut sangat bergantung pada akses mereka terhadap Internet.

Di sisi lain, hak kebebasan berekspresi memang bukanlah hak absolut, melainkan bisa dibatasi. Namun pembatasan kebebasan berekspresi pada situasi darurat harus memenuhi prinsip-prinsip yang diakui berdasarkan hukum serta standar HAM internasional dan regional, seperti Prinsip Siracusa. Di bawah prinsip ini, pembatasan hanya dibenarkan jika mendukung tujuan yang sah serta ditentukan oleh hukum, sangat diperlukan, proporsional, dalam jangka waktu terbatas, dan dapat ditinjau ulang.

Pada kenyataannya, apa pun alasan pemerintah, penutupan akses Internet memberikan dampak buruk yang jauh lebih besar. Dalam konteks pemutusan akses Internet di Papua dan Papua Barat selama hampir sebulan pada 2019, dengan dalih mencegah penyebaran hoaks, misalnya, tindakan tersebut membuat jurnalis justru kesulitan memverifikasi hoaks yang tetap menyebar di luar Papua atau disebarkan melalui jaringan pribadi virtual (VPN). Warga juga tak bisa mengakses informasi kredibel dan sesuai dengan fakta, sulit berkomunikasi dengan keluarga mereka, terhambat mengakses layanan pendidikan dan kesehatan, serta tidak dapat bekerja atau melakukan transaksi keuangan online.

Demikian juga dengan penutupan akses Internet yang dilakukan atas nama "keamanan nasional". Tindakan ini sebenarnya malah akan membahayakan masyarakat akibat tidak dapat mengakses platform informasi dan komunikasi. Orang-orang akan merasa tidak aman ketika mereka tak tahu apa yang sedang terjadi, tidak bisa mengakses berita penting yang dapat menyelamatkan nyawa, tak dapat menghubungi layanan darurat, serta tidak bisa menghubungi orang yang mereka cintai untuk memastikan keamanan mereka atau mengarahkan ke tempat yang aman.

Kedua, RUU Polri tidak mengatur bagaimana mekanisme pemutusan Internet dijalankan secara transparan dan akuntabel. Selain itu, tidak ada parameter yang ketat ihwal tujuan "keamanan dalam negeri" yang menjadi panduan bagi publik untuk mengontrol tindakan Polri.

Hal ini pun tidak sesuai dengan Prinsip Johannesburg yang menyatakan hukum yang mengatur pembatasan kebebasan berekspresi harus dapat diakses, tidak ambigu, serta dibuat secara sempit dan tepat. Dengan demikian, individu dapat memperkirakan apakah suatu tindakan tertentu melanggar hukum. Aturan yang longgar malah menjadi celah yang mudah disalahgunakan untuk merepresi HAM dengan dalih keamanan nasional.

Kekhawatiran atas potensi penyalahgunaan wewenang tersebut tidak berlebihan. Berdasarkan laporan lembaga internasional pemantau hak-hak digital, Access Now dan Koalisi #KeepitOn setelah mendokumentasikan 283 pemutusan akses Internet di 39 negara pada 2023, tindakan pemutusan akses Internet menjadi praktik umum untuk menutupi kejahatan kemanusiaan. Tindakan ini juga menjadi alat yang digunakan oleh rezim demokratis dan otoriter untuk menekan HAM.

Kekhawatiran ini makin beralasan karena catatan tindak kekerasan yang dilakukan anggota Polri terbilang cukup tinggi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat setidaknya ada 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Juli 2022-Juni 2023. Kekerasan itu berupa penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, hingga penggunaan gas air mata.

Jejak kekerasan Polri itu kerap terjadi di wilayah konflik dan saat aksi unjuk rasa damai. Dalam situasi seperti ini, keterlibatan publik untuk mengawasi dan melaporkan setiap pelanggaran HAM yang terjadi jauh lebih dibutuhkan. Namun partisipasi tersebut akan terhambat oleh pemutusan akses Internet.

Dengan rekam jejak Polri tersebut dan kuatnya impunitas para pelanggar HAM di Indonesia, sulit tidak mencurigai bahwa RUU Polri akan melegitimasi tindakan pemutusan akses Internet untuk mengendalikan informasi, membatasi kritik, serta menutupi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan aktor negara ataupun aktor non-negara.

Ketiga, pemutusan akses Internet membuat kesenjangan digital di Indonesia makin dalam. Data Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan masih terjadi kesenjangan pada individu yang mengakses Internet di perkotaan (74,16 persen) dengan di perdesaan (56,11 persen). Akses ke wilayah-wilayah di kawasan timur Indonesia juga masih rendah, yakni di bawah 60 persen.

Padahal kesetaraan digital cukup penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang menandatangani dokumen tersebut. Beberapa fokus SDGs, seperti pertumbuhan ekonomi dan sosial, perdamaian dan kemitraan, membutuhkan kesetaraan digital melalui peningkatan kualitas, keberlanjutan, dan aksesibilitas Internet.

Tindakan memutus akses Internet lebih banyak mendatangkan bahaya dan kerugian daripada klaim-klaim keuntungan yang disampaikan pemerintah. Ekses negatif keberadaan Internet memang perlu diatasi. Namun penanganan dampak negatif Internet harus diselesaikan secara proporsional, sesuai dengan standar minimum norma HAM, transparan, melibatkan semua pemangku kepentingan, serta tidak boleh menghambat hak-hak fundamental lain.

Seperti kata pepatah: jangan bakar lumbung untuk menangkap tikus. Pemutusan Internet sangat jelas bukanlah opsi untuk dipilih.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektiga Digital terbit setiap pekan.

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus