Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Antidemokrasi Rancangan KUHP

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sarat ancaman hukuman atas hak privat dan politik. Antidemokrasi.

23 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYUSUN Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengabaikan prinsip bahwa hukum seharusnya dibuat untuk melindungi hak berpolitik dan privasi warga negara. Akibat pengabaian itu, naskah revisi KUHP justru bersemangat menghukum penggunaan hak asasi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal 218 rancangan tersebut, misalnya, berisi hukuman bagi siapa saja yang dianggap menghina presiden. Para penyusun RKUHP terkena amnesia sejarah bahwa Indonesia menempuh jalan berdarah untuk membuka gerbang demokrasi dari otoritarianisme Orde Baru pada 1998. Dalam demokrasi, kritik terhadap penguasa, betapapun kerasnya, bukanlah penghinaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demokrasi tanpa kritik bukan demokrasi. Presiden bukanlah malaikat yang tanpa cela. Sebaliknya, dengan kekuasaan besar di tangannya, presiden sangat memerlukan kontrol—termasuk berupa kritik dari masyarakat—agar tidak menyelewengkan kekuasaan tersebut. Maka mempertahankan pasal penghinaan presiden, yang bisa ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh kepala negara dan alat-alat kekuasaannya, jelas merupakan ciri pemerintahan yang tak demokratis.

Pasal penghinaan presiden adalah warisan hukum kolonial Belanda. Aturan semacam itu dibuat pemerintah kolonial untuk membungkam protes penduduk Nusantara. Bila pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mempertahankan pasal berbahaya seperti itu, RKUHP menjadi penanda kembalinya otoritarianisme. Alih-alih mengoreksi kesalahan sejarah, para penyusun RKUHP malah melanggengkannya.

Pemerintah bisa saja berdalih pasal penghinaan presiden sudah berubah dibanding KUHP lama. Pasal itu kini berupa delik aduan. Artinya, hanya presiden yang merasa terhina yang bisa memakainya. Hukumannya berkurang dari kurungan penjara 6 tahun menjadi 3 tahun 6 bulan. Tapi, apa pun dalihnya, mempertahankan pasal ini adalah langkah mundur Indonesia. Hanya di negara otoriter kritik dalam aktivitas politik diganjar hukuman bui.

Selain antidemokrasi, pasal penghinaan presiden sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Hakim konstitusi menilai pasal 134 dalam KUHP itu multitafsir. Mengapa kini pemerintah memasukkan pasal ini kembali ke revisi KUHP? Mengapa negara begitu bernafsu membungkam kritik warganya?

Pasal-pasal lain tak kalah absurdnya. Negara hendak memantau aktivitas warga negara hingga ke wilayah ranjang. Lihatlah hukuman bagi mereka yang hidup serumah tanpa ikatan perkawinan (kohabitasi). Negara juga melarang perzinaan dan aborsi. Ada juga hukuman denda bagi para gelandangan.

Bila disahkan, KUHP baru akan berdampak panjang secara sosial. Hukum akan mendorong tiap orang merecoki urusan privasi orang lain. Hukum akan mendorong tiap orang berkonflik dengan orang lain. Padahal tugas hukum adalah melindungi hak asasi tiap orang agar bisa menjalankan kehendak secara bebas yang tidak merugikan orang lain.

Mengingat semua centang-perenang itu, DPR dan pemerintah harus menunda pengesahan RKUHP. Bahas kembali semua pasal bermasalah dengan melibatkan publik dalam partisipasi bermakna. Jangan memilih ahli yang hanya pro kepada penguasa. Ragam pikiran dan perspektif yang berpihak pada hak asasi manusia akan menyelamatkan Indonesia dari era kegelapan otoritarianisme.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus