Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIAN retaknya hubungan kerja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat disesalkan ternyata bukanlah isu belaka. Jusuf Kalla sudah beberapa kali tak muncul dalam rapat koordinasi maupun rapat terbatas kabinet. Padahal, seperti tertera dalam ketentuan—juga janji mereka berdua—kedua pemimpin itu masih harus bersama memandu Kabinet Indonesia Bersatu hingga akhir masa kerja kabinet pada 20 Oktober 2009.
Sejatinya, kewenangan dan kehadiran wakil presiden dalam sidang kabinet tak bisa ditiadakan. Alasannya jelas, lembaga kepresidenan kita merupakan ”dwitunggal”, dua pemimpin yang menjadi satu kesatuan. Dalam sistem presidensial yang kita anut, presiden memang mempunyai hak penuh mengatur kerja lembaga kepresidenan. Namun wakil presiden, lebih-lebih setelah reformasi, bukan lagi sekadar ”ban cadangan”.
Kedua pemimpin melakukan pembagian kerja dengan jelas sejak awal: SBY lebih mengurusi soal politik, JK berperan di bidang ekonomi. Kemitraan keduanya solid terbangun sejak pemerintahan mereka bermula pada Oktober 2004. Tak mengherankan, absennya JK di ruang sidang kabinet mulai menuai pertanyaan dan komentar tak sedap.
Harap diingat bahwa dalam pemilu, rakyat memberikan mandat kepada presiden dan wakilnya untuk memimpin Indonesia selama lima tahun penuh. ”Meniadakan” kehadiran JK dalam masa bakti yang belum genap, tanpa alasan amat kuat, bisa dipandang sebagai sikap dis-respek terhadap lembaga kepresidenan maupun mandat rakyat.
Keadaan tak menguntungkan ini tak boleh dibiarkan dan menjadi ”preseden buruk” dalam perjalanan demokrasi kita. Selain imbauan agar keduanya tetap kembali ”berkantor” bersama, barangkali perlu ada perbaikan undang-undang pemilu presiden, menyangkut waktu pelantikan presiden dan kabinet baru hasil pemilu.
Dengan asumsi pemilu berjalan dua putaran, pelantikan presiden terpilih akan dilakukan pada Oktober mendatang. Ketika pemilu presiden ternyata hanya berlangsung satu putaran, masa menunggu bagi presiden dan kabinet baru untuk mulai bekerja agaknya terlalu panjang. Apalagi bila presiden dan wakil presiden harus ”berpisah” setelah pemilu. Dampak psikologis akibat persaingan dalam pemilu rupanya tidaklah mudah dilalui dalam waktu singkat.
Kabar bahwa JK absen, atau ”dipersilakan tidak hadir”, dalam sidang kabinet, yang mulai tersiar sejak April lalu, merupakan bentuk dampak psikologis persaingan pra dan pasca-pemilu itu. Bahkan pekan lalu JK, yang tampak sehat walafiat, sempat pulang kampung dengan leluasa. Jika kejanggalan ini terus terulang, citra Yudhoyono akan ikut tercoreng. Ia dianggap tidak tegas mengatur pasukan sebelum pertempuran usai.
Maka, akhirilah segera segala anomali ini dan buatlah klarifikasi. Jika pimpinan kabinet benar tak mengundang JK dalam rapat koordinasi terbatas, berikanlah penjelasan yang terang. Sebaliknya, jika JK yang enggan hadir kendati telah ada panggilan resmi, dia perlu memberikan keterangan kepada Istana serta masyarakat.
Ada sisa waktu dua setengah bulan untuk menambal yang retak, meneguhkan yang retas. SBY dan JK masih punya pilihan dan waktu untuk membuktikan kepada Indonesia jargon kampanye mereka dulu: Bersama Kita Bisa—tentunya sampai batas akhir perjalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo