Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah Indonesia mesti bersikap ekstra-hati-hati sebelum membuka pintu bagi kembalinya eks simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) beserta keluarganya. Lembaga intelijen dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme harus menyeleksi dengan saksama siapa saja dari 689 orang asal Indonesia tersebut yang dapat diterima kembali di Tanah Air. Pemulangan yang gegabah ibarat memelihara bom waktu—yang suatu saat dapat mendatangkan bencana bagi negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden Joko Widodomenegaskan tidak akan memulangkan warga negara Indonesia yang pernah menjadi kombatan ISIS karena lebih mengutamakan keselamatan rakyat. Jokowi hanya membuka peluang bagi kembalinya anak-anak dan yatim-piatu para kombatan ISIS yang berusia di bawah 10 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bagaimanapun, pemerintah bertanggung jawab melindungi kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan. Mereka tak bisa dibiarkan tanpa kewarganegaraan dan perlindungan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan setiap orang berhak memiliki kewarganegaraan. Anak-anak yang dibawa orang tuanya ke Suriah atau yang lahir di sana bukanlah pelaku. Mereka korban ideologi yang salah dari orang tuanya. Anak-anak itu bisa menjadi lebih berbahaya jika dibiarkan berlama-lama tinggal di kamp pengungsi di Suriah. Lingkungan yang buruk dan keras akan mempengaruhi fisik dan psikis sehingga mereka akan makin rentan terpapar paham radikal.
Pemerintah sudah mengambil langkah tepat dengan membentuk tim khusus untuk menilai siapa saja yang layak dipulangkan. Para kombatan ISIS harus menjalani pengadilan internasional. Pemerintah Indonesia dapat bekerja sama dengan lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk menyeleksinon-kombatan,termasukanak-anak dan perempuan. Seleksi perlu dilakukan karena tidak semua dari mereka berangkat ke Suriah untuk perang dan mendirikan khilafah. Ada pula yang pergi karena terpincut iming-iming ekonomi dan kehidupan yang lebih baik. Hanya mengembalikan anak-anak di bawah 10 tahun diya kini bukan kebijakan yang efektif, apalagi jika anak-anak itu masih punya kakak ataufamili yang lebih tua lainnya.
Di pihak lain, kecemasan publik bahwa simpatisan ISIS yang pulang akan kembali menebar teror dapat dipahami. Apalagi taksedikit teror bom dilakukan mantan kombatan. Contoh nyata adalah bom bunuh diri di Gereja Katedral di Pulau Jolo, Filipina selatan, pada 27 Januari 2019. Menewaskan 22 orang dan melukai seratusan lainnya, pelaku bom bunuh diri itu adalah suami-istri Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh. Keduanya simpatisan ISIS yang dideportasi dari Turki ketika akan masuk ke Suriah pada 2017. Anggota Jamaah Ansharud Daulah Makassar itu sempat mengikuti program rehabilitasi sekembali ke Indonesia sebelum menyusup ke Filipina.
Pemerintah, dengan demikian, harus menyiapkan seleksi ketat dan program deradikalisasi khusus anak-anak dan perempuan agar mereka tidak kembali terpapar virus terorisme sekembali mereka ke Indonesia. Tanpa kedua upaya itu, rencana mengembalikan keluarga eks kombatanISIS hendaknya dilupakan saja.