Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim soal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi merupakan bukti nyata komersialisasi pendidikan. Di depan Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, ia mengatakan UKT mahal merupakan wujud keadilan: mahasiswa kaya mensubsidi mahasiswa miskin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas masuk akal, pernyataan itu sebetulnya bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan pemerintah menyediakan pendidikan layak untuk setiap warga negara—tak peduli kaya atau miskin. Karena itu, sejak Indonesia merdeka, pendidikan mendapatkan subsidi agar bisa dijangkau semua kalangan.
Undang-Undang Pendidikan Nasional mewajibkan pemerintah mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk sektor pendidikan. Otonomi membuat pemerintah daerah ikut menanggung biaya pendidikan dasar karena pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Faktanya, pendidikan tinggi hanya mendapatkan porsi 1,11 persen APBN. Anggaran pendidikan tinggi yang kontet ini menjadi dalih Kementerian Pendidikan menaikkan UKT.
Pemicu biaya mahal pendidikan tinggi adalah kebijakan pemerintah meningkatkan mutu perguruan tinggi dengan memberikan otonomi kepada kampus pada 1999. Sebagai pionir, ada tujuh kampus yang berubah status menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Dampaknya, subsidi bagi kampus tersebut dicabut. Sebagai gantinya, universitas mencari pendanaan melalui kerja sama dengan swasta atau membangun bisnis.
Akibat pencabutan subsidi itu, biaya kuliah menjadi mahal. Diwarnai protes mahasiswa, pada 2010 Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Tak kurang akal, pemerintah menyalin rupa perguruan tinggi negeri (PTN) BHMN menjadi PTN badan layanan umum (BLU). Kini PTN BHMN berubah nama menjadi PTN berbadan hukum. Prinsipnya sama: perguruan tinggi berstatus badan hukum leluasa mencari pendanaan untuk membiayai aktivitas kampus.
Toh, setelah 25 tahun, mutu perguruan tinggi negeri tak secara signifikan membaik. Universitas Indonesia, misalnya, yang menjadi kampus nomor 1 di Indonesia, kini berada di level ke-537 dunia. Keleluasaan kampus mencari dana tak otomatis meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Saat ini universitas berstatus BLU berlomba menjadi badan hukum agar bebas menentukan kebijakan sendiri. Salah satu syarat bisa berbadan hukum adalah kampus harus memiliki fasilitas pendidikan yang mumpuni. Mencari dana untuk memenuhi syarat ini, kampus membebankan biaya kuliah kepada mahasiswa.
Berbeda dengan kampus-kampus berstatus badan hukum, kampus BLU mesti mendapatkan persetujuan Kementerian Pendidikan untuk memberlakukan UKT. Kewenangan ini, sebenarnya, bisa mencegah komersialisasi pendidikan tinggi makin liar.
Namun Kementerian Pendidikan abai menyeleksi kampus yang menerapkan UKT mahal. Dengan dalih perguruan tinggi sebagai sarana pendidikan tersier, Menteri Nadiem Makarim menyetujui usulan UKT meski tak terjangkau semua mahasiswa. Akibatnya, UKT menjadi tembok penghalang bagi calon mahasiswa mengenyam pendidikan tinggi di kampus negeri. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa memicu segregasi sosial karena pembedaan kemampuan membayar biaya kuliah berdasarkan status kaya-miskin.
Dalih pemerintah bahwa negara belum mampu menyediakan subsidi untuk mewujudkan pendidikan murah jelas mengada-ada. Belanja APBN 2023 sebesar Rp 3.121 triliun, hampir 50 persen untuk bantuan sosial, proyek infrastruktur, hingga Ibu Kota Nusantara. Dalih mengada-ada ini pun tak diimbangi solusi agar pendidikan tetap bisa terjangkau oleh setiap orang. Di Amerika Serikat, yang menerapkan kampus sebagai korporasi, pemerintah menyediakan kredit pendidikan bagi mereka yang tidak mampu.
Di luar Amerika, banyak negara menyediakan pendidikan tinggi bermutu bagus bagi warga negara. Jerman, Prancis, dan negara-negara Eropa yang kapitalis sekalipun menganggap pendidikan sebagai investasi. Di Indonesia, yang menggembar-gemborkan Pancasila dan prinsip kerakyatan, kebijakan pendidikan tinggi diarahkan kepada komersialisasi yang bertentangan dengan konstitusi.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kampus Merdeka Inc."