Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bila Pembesar Jadi Makelar

7 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAN Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto dalam rencana bagi-bagi saham PT Freeport Indonesia jelas tak bisa lagi dibantah. Diputar dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, apa yang semula samar-samar kini terang-benderang.

Dari rekaman terungkap, Setya Novanto mengadakan pertemuan dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan saudagar minyak Muhammad Riza Chalid di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 Juni 2015. Keterlibatan ­Setya amat janggal lantaran ia bukan penentu kebijakan divestasi saham Freeport dan perpanjangan kontrak perusahaan itu. Kalaupun ingin tahu proses penjualan saham perusahaan tambang emas itu, ia seharusnya memanfaatkan rapat resmi DPR.

Itu pula yang membuat Maroef curiga ketika memenuhi undangan Setya dan Riza. Seperti diungkap dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, ia kemudian merekam perbincangan di Ritz-Carlton.

Di situ Riza mengatakan antara lain, "Pak, kalau gua, gua bakal ngomong ke Pak Luhut (Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan), janganlah ambil 20 persen, ambillah 11 persen, kasihlah Pak JK (Jusuf Kalla) 9 persen. Harus adil. Kalau enggak, ribut." Lalu Setya menimpali dengan menceritakan pembicaraan Luhut dengan bos Freeport, James R. Moffett, empat tahun lalu.

Tak sepantasnya Setya Novanto berperilaku bak makelar bisnis. Sebagai Ketua DPR, semestinya politikus Golkar ini ikut memastikan kewajiban Freeport dalam melakukan divestasi—penjualan saham kepada pemerintah, perusahaan negara dan daerah, serta swasta nasional—bisa menguntungkan Republik. Begitu pula kewajiban Freeport membangun fasilitas pengolahan mineral ­(smelter) di Indonesia. Pemerintah sebetulnya berada di atas angin karena kontrak Freeport akan habis pada 2021. Perusahaan ini menginginkan perpanjangan kontrak hingga 2041 untuk menjamin kepastian investasi, tapi pemerintah tak berkewajiban memperpanjangnya sekarang.

Setya Novanto, yang sebelumnya sudah dua kali bertemu dengan Maroef, jelas mengabaikan Kode Etik Dewan. Salah satu pasal dalam Kode Etik DPR tahun 2015 mengatur bahwa seorang anggota Dewan harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan. Dalam pasal yang lain dinyatakan pula bahwa anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, sanak famili, dan golongan.

Peran Luhut Pandjaitan dalam urusan itu juga mengundang tanda tanya. Nama Luhut disebut hingga 66 kali. Urusannya bukan cuma saham ­Freeport, melainkan juga rencana pengaturan saham pembangkit listrik tenaga air yang akan dibangun di Papua. Jika Luhut tak merasa terlibat atau namanya sekadar dicatut, semestinya ia melapor ke penegak hukum.

Mahkamah Kehormatan Dewan tentu tak bisa menelusuri terlalu jauh, apalagi memberi sanksi­ bagi Luhut, karena ia bukan anggota DPR. Masalah akan tuntas bila soal ini dibawa ke ranah hukum. Ganjaran bagi Luhut, Setya, juga Riza, jika terbukti bersalah, bisa fatal. Ketiganya akan dijerat dengan delik permufakatan jahat atau percobaan korupsi yang merugikan negara. Kejaksaan Agung sudah berancang-ancang mengusutnya dengan delik itu. Andai kata Kejaksaan tidak turun tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi juga bisa menanganinya.

Jalan Mahkamah Kehormatan Dewan menjatuhkan sanksi bagi Setya Novanto tentu tak mudah. Sanksi berupa pencopotan jabatan dari Ketua DPR, apalagi pemecatan dari anggota Dewan, mensyaratkan antara lain adanya pelanggaran hukum. Inilah yang bisa memicu pertarungan alot sebelum Mahkamah Kehormatan menjatuhkan sanksi.

Proses yang mungkin akan bertele-tele itu bisa membuat rakyat semakin kesal. Tanpa menanti ujung sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan dan proses hukum, pembesar yang terlibat semestinya merasa malu. Lebih elegan bila Setya Novanto mundur. Sudah selayaknya pula Luhut Pandjaitan membuka keterlibatannya kepada Presiden, lalu mundur dari kabinet.

Presiden Joko Widodo perlu bersikap tegas mengenai hal ini. Praktek percaloan saham Freeport yang terjadi sejak era Orde Baru ini hanya akan berjalan bila ada pihak eksekutif yang berperan. Jika opsi mundur tak diambil, Luhut, yang terindikasi kuat terlibat dalam upaya bagi-bagi saham Freeport, semestinya diberhentikan dari kabinet. Tak seharusnya ia mengurusi saham Free­port—persoalan yang terlalu jauh dari bidang yang semestinya dia urus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus