Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Bunga Acuan dan Makroprudensial

Sepasang bola sedang digelindingkan Bank Indonesia (BI). Bola pertama berupa kebijakan moneter.

6 Maret 2019 | 07.00 WIB

Suku Bunga Naik, BI Yakin Rupiah Menguat
Perbesar
Suku Bunga Naik, BI Yakin Rupiah Menguat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic and Educational Business Institute Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sepasang bola sedang digelindingkan Bank Indonesia (BI). Bola pertama berupa kebijakan moneter. Sepanjang tahun lalu, misalnya, BI agresif menaikkan suku bunga acuan (BI 7-Day Reverse Repo Rate) hingga di level 6 persen. Total frekuensi kenaikan suku bunga sebanyak enam kali dengan akumulasi 175 basis poin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenaikan suku bunga acuan itu lebih bersifat merespons kebijakan The Fed, bank sentral Amerika Serikat, guna menahan pelemahan rupiah. Dalam skenario BI, kenaikan suku bunga acuan akan mempersempit suku bunga diferensial lintas negara sehingga menjadi insentif bagi pemodal asing untuk menahan modalnya di pasar keuangan Indonesia.

Skenario tersebut bukannya tanpa efek samping. Kondisi ini membawa pasar uang domestik masuk ke rezim suku bunga tinggi. Imbal hasil (return) instrumen finansial lainnya pun ikut terkerek sehingga terjadi migrasi dana menuju aset keuangan lain yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.

Likuiditas perbankan terkena dampaknya. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebagai sumber utama dana kelolaan bank terus melambat. Jika keadaan ini terus berlanjut, kemampuan bank menyalurkan kredit niscaya akan menyusut dan ujung-ujungnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Bola kedua adalah kebijakan makroprudensial. Selama periode yang sama, BI gencar meramu bauran kebijakan. Ketentuan giro wajib minimum rata-rata yang harus disetorkan ke kas BI dalam rentang waktu dua minggu diperlonggar, dari semula 2 persen menjadi 3 persen atas DPK.

Berbarengan dengan itu, rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) dinaikkan, dari 2 persen menjadi 4 persen, yang dapat diajukan sebagai repurchase agreement (repo) ke BI. Repo adalah kontrak jual atau beli efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Artinya, bank dapat menggunakan PLM, yang merupakan surat-surat berharga, secara keseluruhan sebagai dasar untuk melakukan repo ke BI.

Pemangkasan uang muka kredit (LTV) untuk perumahan dan kendaraan bermotor patut memperoleh catatan khusus. Pelonggaran LTV ini bersentuhan langsung dengan sektor riil, khususnya komponen konsumsi. Konsumsi rumah tangga yang belakangan mengalami gejala stagnasi agaknya menjadi bidikan BI.

Sehimpun kebijakan makroprudensial tersebut niscaya mendorong likuiditas perbankan sehingga tercipta ruang bagi perbankan untuk mengelola likuiditasnya secara lebih produktif. Karena itu, kemampuan perbankan menyalurkan pinjaman menjadi lebih besar. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi akan terakselerasi.

Hanya, garis finis gelindingan bola kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial saling berlawanan. Kebijakan moneter bersifat prosiklikal, sementara kebijakan makroprudensial tipikal kontrasiklikal. Artinya, kemunculan salah satu dampak kebijakan akan menanggalkan dampak kebijakan yang satunya. Resultan akhirnya pada pertumbuhan ekonomi bisa jadi nihil.

Dengan pertimbangan ini, masuk akal apabila pelaku pasar keuangan menangkap kesan seolah-olah BI tidak memiliki skala prioritas antara suku bunga acuan dan likuiditas untuk stabilisasi nilai tukar demi menenangkan pasar.

Momen kenaikan suku bunga acuan dan relaksasi makroprudensial yang bersamaan (per November 2018) memperkuat kesan BI kewalahan menanggulangi masalah depresiasi nilai tukar dan likuiditas. Akibatnya, dampak stabilisasi dan/atau pertumbuhan yang akan disasar oleh BI semakin berat, bahkan mungkin keduanya bakalan tidak tercapai.

Suku bunga dan likuiditas saling bertalian, ibarat ayam dengan telur. Kenaikan suku bunga menipiskan ketersediaan likuiditas dan eksistensi likuiditas menentukan suku bunga. Tampaknya, BI menempatkan stabilisasi nilai tukar dan likuiditas dalam posisi sejajar yang bisa diraih bersamaan, alih-alih dalam konteks kausalitas.

Kekeliruan semacam ini berimbas pada efektivitas kebijakan BI. Persoalan pokoknya, apakah pelaku pasar sensitif terhadap perubahan harga atau kuantitas. Kebijakan moneter lewat suku bunga acuan niscaya cepat bereaksi seandainya pelaku pasar uang responsif terhadap suku bunga. Demikian pula kebijakan likuiditas akan efektif bilamana pelaku pasar uang peka terhadap aspek kuantitas.

Tesis terakhir agaknya mendekati kenyataan. Faktanya, perbankan tidak mengerek secara proporsional suku bunga pinjaman dan suku bunga simpanan. Intinya, derajat pass-through suku bunga acuan ke dalam suku bunga perbankan berjalan tidak sempurna.

Di lain pihak, likuiditas perbankan dirasakan semakin ketat. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) industri sudah menyundul batas atas yang ditetapkan BI. Artinya, daya dukung industri perbankan untuk menjalankan fungsi intermediasi keuangan sudah sangat terbatas.

Dengan memperhatikan respons pelaku pasar tersebut, BI perlu menetapkan skala prioritas. Amanat Undang-Undang Bank Sentral menegaskan bahwa tugas utama BI adalah memelihara nilai tukar rupiah yang diukur dari harga barang/jasa dalam negeri (inflasi) dan nilai tukar rupiah yang diukur dari mata uang asing (kurs).

Perlu dicatat pula, aspek pertumbuhan bukan tugas primer BI. Selain itu, kondisi perekonomian internasional sedang tidak memungkinkan untuk tumbuh lebih kencang. IMF pun sudah merevisi ke bawah target pertumbuhan ekonomi global. Artinya, ada ruang toleransi bagi BI untuk lebih fokus ke area stabilisasi.

Upaya stabilisasi dari aspek likuiditas menjadi titik awal yang strategis. Likuiditas yang disalurkan perbankan adalah "darah" perekonomian. Jangan sampai suku bunga sudah mahal tapi ketersediaan dana tidak ada. Alhasil, kebijakan makroprudensial menjadi komplemen, alih-alih suplemen, bagi kebijakan moneter.

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus