Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau tidak menjerit, mantan Gubernur Timor Timur, Abilio Jose Osorio Soares, memprotes ketika harus masuk Penjara Cipinang untuk menjalani hukumannya Sabtu pekan lalu. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara padanya karena ia dinyatakan bersalah dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur, 1999. Banyak yang dibebaskan, dan Gubernur Abilio adalah terpidana pertama dan satu-satunya yang dieksekusi.
Dari sekian banyak pejabat yang semestinya dianggap bertanggung jawab di Timor Timur tatkala peristiwa pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi, cuma Gubernur Abilio yang tidak dibebaskan di tingkat kasasi Mahkamah Agung. Ada mantan kepala kepolisian daerah, komandan kodim, komandan koramil, bupati, kepala kepolisian resor, semua dituntut pidana sepuluh tahun penjara, dan semua bebas kecuali Gubernur Abilio yang malang. Bisa dimengerti jika Abilio merasa seakan-akan ada diskriminasi perlakuan bagi dirinya seorang.
Protes Abilio bukan ditujukan pada eksekusi yang mengharuskan dia mendekam di penjara, melainkan pada pincangnya putusan peradilan baginya dibandingkan dengan yang diberikan kepada mantan pejabat lainnya. Mengapa hanya dia yang harus menanggung kesalahan? Kita juga tak punya alasan atau keinginan mengecam eksekusi yang dijalankan jaksa. Dari segi proses, hukum telah dijalankan dengan cukup konsisten.
Pelaksanaan hukuman Abilio didasarkan pada kekuatan putusan Mahkamah Agung yang sudah tetap. Hukuman tak perlu ditangguhkan pelaksanaannya, sekalipun terpidana tengah mengajukan upaya "peninjauan kembali" (PK). Begitulah aturannya dan Abilio harus tunduk, sebagaimana dipatuhinya kini. Namun, mengapa cuma dia seorang yang menderita, itulah yang jadi pertanyaan. Abilio mengotot bahwa dia tak bersalah, karena dalam jajak pendapat di Timor Timur yang diselenggarakan PBB tatkala itu tanggung jawab keamanan dipegang oleh Polri dan TNI.
Sebetulnya ketimpangan keputusan Mahkamah Agung bisa ditinjau dari dua sudut berlawanan. Dari sudut pandang Abilio, keadilan akan dicapai bila kepincangan diperbaiki dengan juga membebaskan dirinya dari hukuman. Yang lain bebas, dia juga merasa berhak dilepaskan. Namun, dilihat dari pelanggaran HAM yang terjadi, kepincangan keadilan terletak pada dibebaskannya mereka yang justru harus memikul tanggung jawab. Jadi, dari sudut penegakan hukum, yang perlu diseimbangkan adalah hukumannya, yang seharusnya dijatuhkan rata seperti apa yang diperoleh Abilio. Bahkan lebih berat lagi, mungkin.
Keadilan lebih dekat bila semua pelanggar HAM diganjar dengan hukuman setimpal. Asas persamaan di hadapan hukum harus diwujudkan. Kalau benar ada pelanggaran HAM berat di Timor Timur waktu itu, tak ada yang boleh menikmati impunitas, yaitu dibiarkan bebas atau dikecualikan dari ancaman hukuman. Jangan lantaran para terdakwanya perwira polisi dan militer, maka keistimewaan diberikan. Percuma mendirikan pengadilan HAM jika tidak mampu menembus kekebalan alat kekuasaan negara yang melakukan pelanggaran.
Mungkin hakim yang salah mengadili, membebaskan yang tak semestinya bebas; atau jaksa penuntut yang tak sempurna menyusun dakwaan dan tak mengajukan bukti-bukti lebih lengkap. Jika itu disengaja, benarlah kecurigaan orang bahwa pengadilan HAM tidak lebih dari sandiwara saja.
Eksekusi Abilio menyadarkan bahwa ternyata proses hukum terbuka untuk dijadikan alat penjungkirbalikan keadilan. Atau, penjungkirbalikan kenyataan, seakan-akan pelanggaran HAM oleh alat negara di Timor Timur tak pernah terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo