Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Presiden Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur pada 17 September 1963, negeri semenanjung itu terkesan gamam. Apalagi setelah pada tahun berikutnya Bung Karno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), yang sasarannya cuma dua, yakni ”memperhebat ketahanan revolusi Indonesia” dan ”membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei.”
Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, Yang Dipertuan Agong Persekutuan Tanah Melayu ketika itu, bahkan sempat bertanya dengan nada agak linglung, ”Apa gerangan salah kami?” Padahal, siapa pun tahu, Tunku punya gaya telikung lumayan campin. Hubungan Jakarta dengan Kuala Lumpur pun, sebetulnya, tak pernah bisa dibilang mesra-mesra amat.
Sudah sejak 1958, misalnya, tokoh-tokoh yang terlibat atau mendukung pemberontakan daerah di Indonesia mendapat suaka di negeri semenanjung itu. Situasi ini tak berbeda jauh dengan masa ketika Malaysia ditengarai menjadi tempat berlindung orang-orang Gerakan Aceh Merdeka yang tersudut di Indonesia. Tapi Jakarta terkesan senantiasa memperpanjang sabar.
Empat tahun setelah kemerdekaan negerinya, Tunku Abdul Rahman mulai berbeka-beka dengan Perdana Menteri Inggris Harold McMillan, mengenai Proyek Malaysia. Federasi baru itu akan meliputi pula Sarawak, Sabah, dan Singapura, yang merupakan koloni Inggris, serta Brunei, yang berstatus protektorat. Untuk meneduhkan suhu politik yang mulai meriang, Filipina mengambil prakarsa penyelenggaraan Konferensi Manila, April 1963.
Filipina punya kepentingan karena Sabah, wilayah yang diklaim Filipina ketika itu, dimasukkan ke Proyek Malaysia. Secara historis-tradisional, Sabah merupakan milik Sultan Sulu yang disewakan kepada Inggris. Agenda berikutnya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Manila. Tetapi, seraya persiapan KTT digiatkan, Tunku secara sepihak menandatangani dokumen persetujuan pembentukan Federasi Malaysia dengan Inggris pada 9 Juli 1963.
KTT Manila tetap digelar pada 31 Juli-5 Agustus 1963. Dalam pertemuan itu Presiden Soekarno menyatakan akan mengakui Malaysia, dengan syarat penyelenggaraan plebisit untuk menjajaki keinginan sesungguhnya rakyat Kalimantan Utara. Dengan kesepakatan KTT Manila, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, U Thant, membentuk tim yang dipimpin diplomat Amerika, Michelmore, untuk menjajaki pendapat rakyat di Sarawak dan Sabah.
Jajak pendapat inilah yang, menurut Soekarno, penuh akal-akalan. Inggris mempersulit visa para peninjau Indonesia. Jumlah petugas PBB sangat dibatasi oleh Inggris, tak sebanding dengan luas daerah yang harus diawasi. Tim itu sendiri baru mulai bekerja pada Agustus 1963. Pada 16 September 1963, Federasi Malaysia diumumkan berdiri. ”Pemerintah Indonesia telah dikentuti bulat-bulat dan diperlakukan seperti patung,” kata Bung Karno ketika itu.
Jadi, dalam perkara ”dikentuti” Malaysia, sebetulnya kita ini sudah kenyang dari sono-nya. Setelah hubungan dengan Kuala Lumpur pulih, pada 28 September 1966, kita kembali ”dikentuti” dalam urusan Sipadan dan Ligitan, dan nyaris bulat-bulat ”dikentuti” dalam perkara Blok Ambalat. Percobaan ”mengentuti” paling aktual barangkali adalah dalam urusan lagu Rasa Sayang Sayange –yang sampai kini masih simpang-siur.
Ada apa dengan Malaysia, sesungguhnya? Atau, dengan gaya mengembalikan pertanyaan Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, 44 tahun silam, ”Apa gerangan salah kami?” Pada masa ”konfrontasi”, 1960-an, ketika kebencian terhadap Proyek Malaysia menggebu-gebu, tak ada warga Tanah Melayu yang dianiaya di negeri ini. Tak ada ”sweeping” oleh ”Rela-Indonesia”, atau apa pun namanya, apalagi sampai pada tindakan dajal semacam pemerkosaan.
Setelah berbagai silang-sengkarut belakangan ini, mungkin diperlukan semacam tinjauan ulang terhadap hubungan kedua negara. Pada masa lampau, hubungan itu demikian cair, sehingga istilah ”serumpun”, yang lebih banyak didengungkan pihak ”sana” ketimbang pihak ”sini”, terasa betul khasiatnya. Tiba-tiba, setelah kedua negara menjalani lebih dari empat dasawarsa hubungan antartetangga, muncul berbagai soal yang kayaknya tak layak terjadi di dunia beradab.
Ada dua hal yang patut dikhawatirkan. Pertama, jika laku lajak Malaysia belakangan ini berangkat dari kompleks rendah diri yang berlebihan. Dan kedua, jika perbuatan salah tingkah itu bisa diamsalkan sebagai ”sindrom orang kaya baru” yang lupa akar dan lupa sejarah, sehingga boleh berbuat sewenang-wenang. Untuk kedua perkara ini, sebaiknyalah kedua pihak berbicara dari hati ke hati dengan jujur dan tulus, dan—terutama—dengan pikiran terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo