Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Ja'far*
Suriah, yang mayoritas penduduknya Islam Sunni dan pemimpinnya Syiah, memiliki posisi strategis: berbatasan dengan Turki, Irak, Yordania, Libanon, dan Israel. Sedikit banyak negeri itu berbagi identitas, ideologi, dan agama dengan lima tetangganya—kecuali Israel.
Di sebelah barat, kedekatan Suriah dan Libanon direkatkan oleh faktor Syiah, ketimbang identitas Arabnya, dan persamaan ini membuat Suriah jadi penghubung kemitraan strategis Libanon-Iran, yang sama-sama berteologi Syiah. Sedangkan Israel, tetangga lain di sebelah barat, tidak hanya tak memiliki satu pun titik temu dengan Suriah—dan negara-negara lain di sekitarnya—tapi juga secara geopolitik Israel tidak menguntungkan: terkepung.
Karena itu, bisa dipahami apabila Israel menaruh harapan bahwa gejolak yang berlangsung di Suriah belakangan ini berakhir dengan tumbangnya Presiden Bashar al-Assad. Di tangannyalah aliansi Libanon (Hizbullah)-Iran (keduanya rival terberat Israel) tersambung dengan baik. Jika terjadi perubahan haluan teologi atau ideologi politik di Suriah, mata rantai strategis yang selama ini mengganggu stabilitas Israel bisa terputus.
Tidak seperti Mesir dan Yordania, dalam soal Palestina, Israel belum bisa ”menjinakkan” Suriah secara diplomatik. Apalagi, siapa pun tahu, tak ada jaminan bahwa Mesir pasca-Husni Mubarak akan tetap bermitra baik dengan Tel Aviv.
Ya, ada kemitraan strategis berbasis Islam Syiah yang beranggotakan Suriah, Libanon, dan Irak dengan menempatkan identitas Sayyid (Arab) sebagai prasyarat pemegang otoritas kepemimpinan (Imamah). Faksi Hamas di Palestina bisa dimasukkan ke anggota aliansi ini, kendati titik temu aliansinya telah bergeser: bukan lagi Syiah, tapi Islam secara universal. Batas mazhab terlampaui, daya rekat aliansinya menopang perjuangan Palestina merebut hak politiknya dari Israel. Pola ini bisa terjadi juga pada kelompok Sunni di Mesir dan Tunisia, yang kini berpeluang besar naik ke kekuasaan. Dengan kata lain, persaudaraan politik antara Sunni dan Sunni semakin terbangun kuat.
Ada lagi kemitraan strategis berbasis identitas Arab—beranggotakan Uni Emirat Arab, Yordania, Kuwait, Bahrain, dan beberapa negara lain—dengan Arab Saudi sebagai pelopornya. Memang mayoritas penduduk Kuwait dan Bahrain Islam Syiah, tapi perbedaan mazhab itu terlampaui oleh spirit ke-Arab-an.
Apa yang tengah bergolak di Suriah memang tak bisa dianggap sepi. Tumbangnya rezim Saddam Hussein, yang kemudian diikuti dengan gelagat semakin mendekatnya Irak dengan Syiah ketimbang terus bertahan pada identitas Arabnya, memberikan satu pelajaran politik berharga: perubahan rezim akan diikuti perubahan orientasi aliansi. Sebaliknya, apabila Irak sepeninggal Saddam Hussein mendekat ke aliansi Syiah, Suriah sepeninggal Presiden Bashar diharapkan merapat ke aliansi Arab, yang dimotori Arab Saudi di atas.
Menghadapi kemungkinan ini, tentu saja Libanon, Iran, dan Irak tidak menghendaki perubahan yang berbuntut pada menyeberangnya Suriah dari aliansi strategisnya selama ini. Dan bukan cuma mereka yang berkepentingan mempertahankan Bashar. Di Timur Tengah dewasa ini, praktis, setelah tumbangnya Muammar Qadhafi di Libya, tinggal Suriahlah negara yang mempertahankan ideologi sosialisnya. Harus diingat bahwa ini bukan soal strategi politik semata, melainkan perang psikopolitis Cina-Rusia vis a vis Amerika Serikat-Eropa.
Veto Rusia dan Cina untuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Suriah bisa dilihat dalam perspektif ini. Intervensi terhadap Suriah juga ditentang keras, karena rentan menodai otentisitas revolusi, penghormatan kedaulatan negara, dan memicu konflik berkepanjangan. Libya contoh nyata. Bagaimanapun, Cina dan Rusia memiliki ambang maksimal dalam menopang Assad.
*) Pengamat Timur Tengah. Pengasuh www.timur-tengah.com.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo