Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tak tuntas, kesepakatan pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat memberi diskon hukuman mati patut disambut baik. Jika revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sedang digodok jadi disahkan, hukuman seorang terpidana mati bisa berubah menjadi seumur hidup atau penjara 20 tahun. Syaratnya, ia harus berkelakuan baik selama setidaknya 10 tahun di penjara.
Ini kemajuan, karena parlemen dan pemerintah mendengar pendapat publik yang tak setuju dengan hukuman mati. Sebab, hukum diciptakan bukan untuk mewakili Tuhan dalam urusan nyawa. Tak ada manusia yang berhak menentukan nyawa orang lain. Hukum dibuat untuk mengatur hajat hidup orang banyak. Adapun hukuman dijatuhkan untuk mencegah sebuah kejahatan berulang.
Fakta menunjukkan, sejak Indonesia menerapkan hukuman mati, pelaku kejahatan terus bertambah. Banyak bandar narkotik dikirim ke regu tembak, tapi bandar berikutnya muncul kembali. Semakin banyak negara menghukum mati penjahat, semakin banyak pula orang yang melakukan kejahatan serupa.
Artinya, hukuman mati tak membuat jera. Pencabutan nyawa tak menjadikan orang jeri pada hukuman itu. Apalagi hukum kita masih centang-perenang, dan aparatur mudah disuap. Pencabutan nyawa tak mencegah kejahatan yang keji berulang di kemudian hari.
Lalu, jika hukuman mati saja tak membuat jera, apatah lagi hukuman yang lebih ringan? Pertanyaan ini sekilas tampak valid meski fondasinya rancu. Hukuman dibuat untuk membuat jera dan mencegah orang yang sama berbuat kejahatan serupa. Jika ini tujuannya, hukuman kurungan hingga ia meninggal justru cara efektif mencegah ia berbuat jahat kembali.
Dan hukuman pada dasarnya adalah mencerabut seorang penjahat dari interaksi sosialnya. Penjara didirikan untuk itu. Seorang penjahat dibui karena ia mencederai hak bebas dan interaksi sosial dengan orang lain. Hukumannya adalah dicabutnya keistimewan itu. Hukuman mati justru hukuman yang lebih ringan bagi mereka yang sudah tak memiliki perikemanusiaan.
Karena itu, hukuman paling layak bagi mereka yang berbuat keji adalah diasingkan dalam bui selama ia hidup. Biarlah ia mati secara wajar untuk menghargai hak paling hakiki, yakni memiliki nyawa. Bagaimanapun, peradaban dibangun dan berdiri pada fondasi: menghargai sesama, termasuk mereka yang melanggar hukum positif sebuah negara.
Pasal 12 ayat 1 KUHP menyediakan hukuman seumur hidup. Manusia tak perlu membunuh manusia lain, cukup ia menghukumnya hingga usia biologisnya habis, hingga ia dengan sendirinya tak mampu mengulangi kejahatan tersebut. Dalam perspektif hukum yang adil, justru inilah hukuman paling pilu dan mengerikan.
Jika Indonesia hendak dibangun secara beradab, hukum yang mengatur hajat hidup orang-orangnya pun mesti beradab. Pemerintah dan DPR tak perlu tanggung mendiskon hukuman mati, karena jalan terbaik adalah menghapuskannya dari KUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini