Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial. Kali ini, ia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 pada akhir Mei lalu. Beleid tersebut merupakan revisi atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Hal baru dalam regulasi anyar itu adalah ketentuan mengenai pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, pun langsung mencuri panggung. Seperti ramai diberitakan di berbagai media massa, ia berjanji segera mengeluarkan izin usaha pertambangan atau IUP bagi ormas keagamaan. Alasan pemberian ini, menurut Bahlil, adalah sebagai upaya mensejahterakan rakyat. Ormas keagamaan pertama yang dijanjikan segera mendapatkan IUP ini adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sebetulnya punya opsi yang lebih “bersih” dan “hijau” jika ingin membangkitkan ekonomi melalui pemberdayaan ormas keagamaan ketimbang pemberian IUP. Salah satunya adalah pembuatan skema pengelolaan pembangkit listrik energi terbarukan pada pesantren dan masjid yang terserak di hampir seluruh Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil penelitian Celios dan 350.org Indonesia bertajuk Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas menunjukkan pengelolaan energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 10.529 triliun selama 25 tahun.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa pengelolaan energi terbarukan berbasis komunitas berpotensi menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang. Bukan hanya itu, dari sisi ketenagakerjaan, skema ini bakal membuka peluang kerja untuk 96 juta orang.
Pertanyaannya, kenapa pemerintah tidak menawarkan skema tersebut kepada ormas keagamaan terbesar di Indonesia seperti PBNU? Justru dengan pemberian izin ini, alih-alih mendapatkan keuntungan, pemerintah tampak sedang menyeret PBNU ke dunia bisnis pertambangan yang malah membuat kerusakan di muka bumi kian menjadi-jadi.
Kerusakan Lingkungan dan Risiko Konflik
Saat ini bisnis batu bara kini semakin ditinggalkan banyak pihak. Bank dan institusi keuangan global pun mulai enggan memberikan pinjaman kepada kegiatan bisnis yang berkaitan dengan batu bara, baik pertambangan maupun bisnis pembangkit listrik tenaga uap. Secara global, berbagai lembaga mulai memasukkan dampak kerusakan lingkungan dalam ongkos produksi bisnis batu bara. Artinya bisnis ini sudah dianggap tak menguntungkan lagi.
Kita tahu bahwa pembakaran batu bara menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan konsentrasi emisi GRK inilah yang menyebabkan krisis iklim. Bencana-bencana akibat krisis iklim kini bukan lagi isu, melainkan sudah terjadi di depan mata.
Daya rusak batu bara tak hanya terjadi setelah pembakaran. Sejak dalam proses penambangan, komoditas ini juga memiliki daya rusak yang mematikan. Hal itu karena tambang batu bara memiliki karakteristik mengubah bentang alam. Akibatnya, kualitas kesuburan tanah, air, dan udara menurun. Belum lagi ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan di sekitar area tambang.
Setelah proses penambangan pun, kerusakan itu masih ada dalam rupa lubang tambang. Di Kalimantan Timur saja, misalnya, menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur per 2021, terdapat setidaknya 1.735 lubang bekas tambang. Lubang-lubang yang kemudian menjadi kolam-kolam raksasa itu telah menelan puluhan korban jiwa yang didominasi anak-anak.
Sulit untuk tidak menduga bahwa pemberian IUP kepada NU merupakan agenda ekonomi-politik dari segelintir elite. Dengan mudah kita menduga mereka sedang berupaya menjadikan NU sebagai tempat berlindung dari gelombang desakan transisi energi. Narasi keagamaan digunakan untuk menjaga industri kotor ini.
Kebijakan pemerintah ini juga menimbulkan kesan memang didesain untuk memposisikan ormas keagamaan dan pegiat lingkungan secara berhadapan. Jika hal ini benar terjadi, pemerintah tak hanya terlibat aktif dalam perusakan alam, tapi juga tengah memfasilitasi risiko konflik horizontal antara ormas keagamaan dan masyarakat sipil yang peduli lingkungan.
Kita berharap saja para petinggi PBNU dan ormas-ormas keagamaan lain yang mendapat tawaran IUP ini menolak dengan tegas. Semoga mereka membuka mata bahwa tawaran ini hanyalah upaya kelompok oligarki untuk memanfaatkan ormas keagamaan demi kepentingan bisnis belaka. Namun hal itu hanya akan terjadi jika para petinggi PBNU dan ormas keagamaan lain punya kesadaran dan kepedulian tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.