Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelitian University of Gothenburg, Swedia, menemukan adanya tren kemunduran demokrasi di lebih dari separuh negara yang akan mengadakan pemilu tahun ini.
Jurnalisme harus berperan di tengah ancaman manipulasi informasi yang kian deras akibat makin luasnya penggunaan media sosial dan perkembangan teknologi kecerdasan buatan.
Jurnalisme harus pulang ke rumahnya: kembali melayani publik dengan informasi yang dibutuhkan, bukan hanya informasi yang disukai audiensnya.
TAHUN 2024 kerap disebut-sebut sebagai tahun pertaruhan demokrasi secara global. Pasalnya, ada sedikitnya 60 negara—termasuk sejumlah negara dengan populasi besar, seperti Indonesia, India, dan Amerika Serikat—yang menggelar pemilihan umum pada tahun ini. Maju-mundurnya demokrasi di berbagai belahan dunia akan ditentukan oleh siapa pemenang pemilu di negara-negara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegentingan soal masa depan demokrasi ini digambarkan dengan baik dalam riset tentang demokrasi yang dirilis V-Dem Institute dari University of Gothenburg, Swedia, Maret 2024. Penelitian mereka menemukan adanya tren kemunduran demokrasi di lebih dari separuh negara yang akan mengadakan pemilu tahun ini. Saat ini, menurut riset tersebut, 71 persen dari semua penduduk dunia hidup di negara yang tidak demokratis, naik dari 48 persen sepuluh tahun lalu. Ini tentu kecenderungan yang mengkhawatirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di negara-negara yang makin dekat dengan autokrasi itu, cenderung tidak ada penghormatan pada kebebasan berpendapat, kebebasan pers, pemilu yang bebas dan adil, serta masyarakat sipil. Tren ini tentunya bisa berbalik atau malah memburuk, bergantung pada hasil pemilu. Dengan kata lain, pemenang pertarungan ideologis antara kelompok pendukung demokrasi liberal dan kaum populis yang kerap mengeksploitasi narasi chauvinistik dan anti-demokratik akan sangat bergantung pada keputusan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di sebuah negara demokrasi.
Masalahnya, mampukah warga negara mengambil keputusan terbaik mengenai masa depan negerinya jika tidak ada ekosistem informasi yang kredibel dan bisa dipercaya? Jika seluruh kerangka pemahaman warga mengenai realitas politik dan ekonomi di sekitarnya berasal dari operasi disinformasi yang canggih via media sosial, apakah demokrasi punya peluang untuk menang?
Pertanyaan itulah yang dikaji selama dua hari dalam sebuah pertemuan bersahaja di kampus National Taiwan University (NTU), Taipei, pada pertengahan Juni lalu. Ada lebih dari 16 pakar dan jurnalis dari 10 negara yang berbicara dalam acara tahunan bertajuk Asian Journalism Forum yang diselenggarakan oleh The Foundation for Excellent Journalism Award (FEJA) dan didukung Westminster Foundation for Democracy itu.
Selain pemilihan presiden Taiwan yang digelar pada Januari lalu, pengalaman pemilu di Filipina, Indonesia, Thailand, India, Jepang, dan Korea Selatan dikaji sebagai studi kasus soal pengaruh media serta jurnalisme terhadap pencegahan manipulasi informasi untuk mempengaruhi pemilih.
Semua pembicara sepakat bahwa jurnalisme harus berperan di tengah ancaman manipulasi informasi yang kian deras akibat makin luasnya penggunaan media sosial dan perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Teknologi AI terbaru, yang bisa membuat konten video palsu alias deep fake yang begitu mirip dengan aslinya, memang mencemaskan banyak kalangan. Persoalannya, disrupsi digital membuat banyak media jurnalistik sangat bergantung pada mesin pencari dan media sosial untuk menjangkau audiensnya.
Distribusi konten berita kini sangat bergantung pada algoritma perusahaan teknologi yang menguasai berbagai platform digital. Ada tiga sumber traffic pengunjung situs berita: organic traffic yang berasal dari mesin pencari, referral traffic yang berasal dari media sosial, dan direct traffic yang merupakan audiens yang langsung datang ke situs web dan aplikasi milik media. Persentase sumber terakhir ini rata-rata masih di bawah 40 persen. Tanpa direct traffic, media tidak punya kuasa untuk menentukan informasi apa yang masuk ke layar telepon seluler atau komputer pembacanya.
Selama bertahun-tahun, pengelola media abai membangun relasi yang baik dengan pembacanya sendiri. Pembaca diperlakukan sebatas sebagai angka analytics, pageviews, dan revenue iklan programmatic alias pendapatan yang muncul dari jumlah klik laman web media. Perusahaan media berlomba-lomba memproduksi konten yang paling banyak meraup klik dengan mematuhi standar search engine optimization (SEO) dan topik terpopuler, tapi luput meliput topik yang penting untuk edukasi dan literasi publik karena kliknya sedikit dan tidak mendatangkan cuan.
Maka jangan heran ketika publik mudah saja berpaling dari media jurnalistik ke kreator konten di media sosial. Para kreator ini bisa membuat konten yang jauh lebih bombastis, viral, dan menarik karena memang tak dibatasi kode etik jurnalistik. Audiens tidak lagi bisa membedakan mana media berbasis jurnalisme dan mana kreator konten yang tak pernah menerapkan disiplin verifikasi ataupun konfirmasi. Semua batasan itu kian lama kian kabur dan tenggelam dalam lautan informasi yang campur aduk.
Apakah ada jalan keluar? Asian Journalism Forum berkesimpulan para pengelola media harus kembali mengingatkan pembacanya soal pentingnya jurnalisme dan berita berbasis fakta. Redaksi harus kembali menyapa pembaca dan memperlakukan mereka sebagai manusia. Pembangunan komunitas dan audience engagement menjadi kata kunci.
Model bisnis yang menekankan pada pendapatan dari pembaca, seperti langganan dan keanggotaan, juga penting dimulai. Tak hanya sebagai alternatif, tapi juga untuk mulai membangun first party data mengenai audiens, sesuatu yang selama ini dimonopoli oleh perusahaan teknologi yang menguasai platform digital.
Tapi yang paling penting, jurnalisme harus pulang ke rumahnya: kembali melayani publik dengan informasi yang dibutuhkan, bukan hanya informasi yang disukai audiensnya. Ketika menerima Nobel Perdamaian pada 2021, jurnalis Filipina Maria Ressa mengatakan, "Without facts, you can’t have truth. Without truth, you can’t have trust. Without trust, we have no shared reality, no democracy, and it becomes impossible to deal with our world’s existential problems...." Tanpa jurnalisme, tidak ada demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektiga Digital terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.