Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Kebebasan Beragama yang Terancam

Buruknya tingkat kebebasan beragama kini mencapai level mengkhawatirkan. Pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi hampir di semua wilayah.

21 Januari 2016 | 21.44 WIB

Kebebasan Beragama yang Terancam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Buruknya tingkat kebebasan beragama kini mencapai level mengkhawatirkan. Pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi hampir di semua wilayah.

Setara Institute, organisasi yang meneliti soal intoleransi, belum lama ini melaporkan 197 pelanggaran terhadap kebebasan beragama sepanjang 2015. Angka itu meningkat drastis dibanding pada tahun sebelumnya, yakni 134 peristiwa. Jawa Barat disebutkan menjadi wilayah dengan angka pelanggaran tertinggi, yaitu 44 peristiwa, disusul Aceh dengan 34 kejadian. Menurut lembaga itu, persoalan bertambah pelik lantaran pemerintah kabupaten dan kota ikut-ikutan menjadi pelaku pelanggaran. Setidaknya ada 31 kebijakan yang diskriminatif dan membatasi kehidupan beragama.

Keterlibatan pemerintah daerah ini bisa ditelusuri muaranya pada masa pemilihan kepala daerah. Di masa kampanye, banyak calon mengusung sentimen keagamaan untuk memobilisasi suara sekaligus menekan popularitas lawan. Isu yang paling sering "digoreng" adalah ihwal pendirian gereja serta pengikut Syiah dan Ahmadiyah.

Setelah terpilih, kepala daerah yang menjual sentimen intoleransi mau tidak mau harus membalas budi konstituennya meski melawan konstitusi. Tidak hanya untuk membayar "utang", dukungan pemerintah daerah terhadap kelompok intoleran juga dianggap sebagai investasi buat pemilihan berikutnya.

Para kepala daerah seharusnya sadar bahwa eksploitasi isu-isu intoleransi hanya akan meninggalkan masalah jangka panjang bagi daerah tersebut. Banyak peneliti sosial yakin terorisme berawal dari sikap intoleran yang dirawat, sehingga berujung pada gerakan radikal.

Aparat penegak hukum sebaiknya tidak sungkan bersikap keras terhadap pelanggaran kebebasan beragama, yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat. Tugas negaralah menjamin hak itu.

Pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah harus diperkuat. Tidak hanya dilakukan oleh lembaga pengawas pemilu, tapi juga sepatutnya melibatkan masyarakat umum, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Bersamaan dengan pelibatan masyarakat, melalui pendidikan formal ataupun informal, perlu ditanamkan kesadaran mengenai pentingnya toleransi.

Masyarakat diarahkan untuk menjadikan visi toleransi sebagai salah satu ukuran penilaian dalam memilih kepala daerah. Kalau pemahaman akan toleransi sudah terbentuk, tertutup peluang bagi calon kepala daerah menjual isu-isu intoleransi. Sebaliknya, pintu bagi calon yang menjanjikan penghargaan terhadap kebinekaan akan terbuka lebar.

Pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan. Presiden Joko Widodo pasti tidak lupa akan butir kesembilan Nawa Cita, yakni memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial. Sebagai pemimpin negara, dia dituntut lebih sering berbicara kepada publik guna menggaungkan kembali pengakuan negara terhadap kebinekaan. Sudah saatnya kekerasan terhadap "yang berbeda" harus diakhiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus