Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Kemenangan

Pada saat pasangan Prabowo-Megawati dan Anies Baswedan-Surya Paloh makan siang di lokasi berbeda di kawasan Menteng, Jakarta, saya pun makan bersama keluarga di kampung lereng Gunung Batukaru.

27 Juli 2019 | 07.30 WIB

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan) menerima Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu, 24 Juli 2019. Dalam pertemuan ini Megawati dan Prabowo akan membahas sejumlah hal. TEMPO/Muhammad Hidayat
Perbesar
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan) menerima Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu, 24 Juli 2019. Dalam pertemuan ini Megawati dan Prabowo akan membahas sejumlah hal. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Putu Setia
@mpujayaprema

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pada saat pasangan Prabowo-Megawati dan Anies Baswedan-Surya Paloh makan siang di lokasi berbeda di kawasan Menteng, Jakarta, saya pun makan bersama keluarga di kampung lereng Gunung Batukaru. Hari itu, Rabu Kliwon, 24 Juli lalu, adalah Hari Raya Galungan, hari yang dirayakan umat Hindu sebagai "hari kemenangan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat tokoh Republik tersebut barangkali tak perhatian bahwa hari itu adalah hari yang baik untuk mencapai kemenangan dalam meniti hidup. Kecuali mungkin Anies karena dia sempat mengirim ucapan Galungan lewat media sosial.

Siapa saja yang memperoleh kemenangan? Saya kira semuanya. Tentu kemenangan versi mereka sendiri. Kemenangan yang berbeda karena targetnya sudah jelas beda.

Megawati merasa menang karena berhasil mengajak Prabowo ke rumahnya lewat diplomasi politik nasi goreng. Berkali-kali dia menyebutkan nasi goreng telah meluluhkan hati Prabowo. Kedua ketua umum ini pun pernah "bermesraan" saat menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan presiden 2009. Namun mereka kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono. Kini, Mega bisa berkata: "Lihat nih, siapa yang bisa meluluhkan hati lawan?"

Prabowo mencuri kemenangan besar karena tidak ada kamus kalah dalam perjuangannya "memperbaiki martabat kehidupan bangsa". Kengototan memenangi pemilihan presiden sudah dilakukan secara terstruktur dan sistematis, bahkan sejak sebelum pemungutan suara dilakukan. Menuduh pemilu curang tapi gagal dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena tak meyakinkan dengan bukti-bukti tak menyurutkan langkahnya untuk membawa Gerindra ke puncak kekuasaan. Kini, lewat nasi goreng, langkah menuju kekuasaan itu hampir pasti, minimal membaginya. Prabowo telah mengubrak-abrik keutuhan Koalisi Indonesia Kerja, koalisi partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.

Memang, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP gerah. Ketua umum empat partai ini sempat berkumpul dan memberikan sinyal "menggagalkan" pertemuan Jokowi, Megawati, dan Prabowo. Keempat partai yang tak suka Gerindra masuk ke pelukan Jokowi-karena akan mengurangi jatah kekuasaan mereka di pemerintahan-hanya berhasil membuat Jokowi urung dalam pertemuan nasi goreng itu, tapi tidak membatalkan perjumpaan Mega-Prabowo.

Namun Surya Paloh menemukan cara untuk mengusiknya. Pada hari yang sama, Surya bertemu dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Tiba-tiba saja publik dikejutkan oleh pujian Surya Paloh untuk Anies Baswedan dengan menyebut Anies sebagai calon potensial untuk kepemimpinan pada masa mendatang. Surya memenangi perhatian publik, setidaknya membuat diplomasi nasi goreng punya tandingan.

Bagaimana dengan Anies? Sedikit salah tingkah dengan manuver Surya. Sesungguhnya dialah sang pemenang. Hujatan sebagai gubernur yang hanya pandai menata kata dan bukan menata kota, gubernur yang didukung kelompok intoleran, kini berbalik. Dia dipuji oleh pimpinan partai yang pendukungnya adalah penghujat Anies.

Yang kalah adalah rakyat yang tak henti disuguhi kegaduhan politik. Dalam sejarah Republik, jarang memilih presiden seribet ini. Juga tatkala presiden akan memilih menterinya, hebohnya tak ketulungan. Padahal presiden bisa bekerja senyap karena punya hak prerogatif. Rakyat berharap pemerintah mengurangi tensi politik, dan kembali bersama rakyat. Misalnya, memperbaiki sistem zonasi penerimaan siswa baru yang amburadul, mengurai ribetnya mengurus rujukan jika sakit mengandalkan BPJS, dan memperhatikan ancaman kekeringan yang menyulitkan air bersih. Namun ternyata rakyat masih disuguhi tontonan para elite berebut kekuasaan. Duh...

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus