Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSANNYA untuk tidak memperpanjang kontraknya dan memilih
kembali ke negerinya -- untuk bekerja di sebuah universitas
kecil nun di bagian tengah-barat Amerika Serikat sana --
mengejutkan saya. Sepanjang pengetahuan saya dia selalu
mencintai Yogya yang dia kenal dengan baik pada waktu dia
menyiapkan disertasinya kurang lebih 10 tahun yang lalu. Dan
alangkah rindu dia selalu akan kota gudeg ini. Surat-suratnya
dari Amerika Serikat selalu penuh dengan sumpah serapah
menyesali nasibnya habis-habisan karena harus bergulat
menyelesaikan disertasinya.
Selalu saja dalam surat-suratnya itu dia menanyakan tentang
"kemewahan-kemewahan kecil yang tak ternilai harganya".
Maksudnya harumnya bau durian, puncak Gunung Merapi yang di
waktu pagi kadang kelihatan menyembul mengeluarkan asap, jalan
andong yang tertatih-tatih, suara nang-ning-nung gamelan dalam
ketenteraman pagi, atau kesyahduan malam dan bahkan "gudegmu
yang manis dan tidak bergizi itu . . .". Bertahun-tahun dia
menginginkan benar mendapatkan satu kesempatan untuk datang lagi
di Yogya. "Kali ini untuk tinggal yang lamaaa sekali!", katanya.
Akhirnya datanglah kesempatan itu. Ia mendapat kontrak dengan
salah satu badan internasional yang aktif di Yogya. Kontrak
pertama itu setahun lamanya untuk kemudian bisa diperpanjang
bila ia menginginkannya dan juga bila badan itu cukup puas
dengan pekerjaan teman saya itu. Setahun hampir habis. Begitu
saja dia beritahu saya bahwa dia tidak akan memperpanjang
kontraknya.
"Lho, kok kamu ternyata nggak krasan di sini?"
Bung bule sahabatku tersenyum menyedot rokok Djarumnya.
***
Begitulah. Menurut bung bule, sahabatku itu, Yogya sudah
kehilangan semuanya yang selama ini sangat dia cherish sangat
dia hargai dan junjung tinggi. Yakni apa yang dia sebut sebagai
"kemewahan kecil yang tak ternilai harganya" itu. Begini
keluhnya ....
Aku kaget melihat perubahan kotamu, kotaku yang tercinta ini.
Sekarang bising bukan main. Becak, sepeda motor, mobil, andong
semrawut tidak keruan. Dan colt kampus dan mini-bus itu. Minta
ampun. Dan Malioboroku? Apa yang telah kalian perbuat dengan
jalanku yang tercinta itu? Kau pasangi jalan itu dengan
toko-toko yang gemerlapan. Kau pulasi itu dengan cat yang
belang-belonteng nggak keruan. Sementara pedagang kakilima makin
banyak berjejal di sepanjang trotoar menjajakan dagangan "Seni
Yogya" yang tidak bermutu buat para turis.
Ya dan turis-turis bule itu! Ngapain mereka itu semua makin
banyak berkeliaran di Malioboro dengan baju kumal tidak keruan
itu. Bikin malu saja. Kau kira pariwisata macam itu yang akan
membuat ekonomimu maju? Dan orang dan orang dan orang berjejal
terus di mana-mana. Dari mana mereka itu, mau ke mana mereka
itu, mau apa mereka itu?
Di rumahku pun bising bukan main. Selalu saja orang ngomong dan
ngomong. Dulu memang kalian orang Jawa ngomong juga. Itu bagian
kebudayaanmu yang penting 'kan? Tapi entahlah. Sekarang ini
kayaknya kok lain cara kalian orang Jawa ngomong. Kedengarannya
lebih tegang. Dan aduh, anak-anak muda Yogya sekarang dengan
sepeda motor mereka. Aku nggak habis 'ngerti bagaimana telinga
dan kepala kalian bisa bertoleransi dengan knalpot sepeda motor
anak-anak muda itu. Aku bahkan melihat banyak sepeda motor
orang-orang tua mulai berbunyi seperti itu juga.
Dan durian yang kau tanyakan itu? Apakah itu sudah tidak
merupakan kemewahan kecilku lagi? Tidak! Memang durian masih
banyak. Rasanya pun masih enak. Tapi toh jadi tidak seenak dulu!
Begini. Durian adalah buah manja yang minta dimanjakan untuk
memanjakan orang yang manja. Karena itu beli dan makan durian
tidak boleh kesusu. Berjongkoklah lama-lama di depan bakul
durian itu. Cium yang ini, letakkan. Cium yang itu, letakkan.
Ngobrollah dengan mas penjaja. Dari mana? Gunungpati atau
Purworejo? Baru mulai tawar pelan-pelan sesudah jadi kalau mau
makan di situ pecahlah pelan-pelan. Sambil jongkok, makan,
ngobrol ngalor-ngidul.
Begitu aku menghayati kalian orang Yogya menikmati durian. Itu
memang seni hidup yang bermutu tinggi yang di negeriku yang
celaka itu tidak dikenal lagi. Eh, kok sekarang kalian mau
ikut-ikut kehilangan itu.
Tempo hari aku mau ngongkrong durian di Ngabean dan Jalan
Diponegoro. Wah, didesak sana, didesak sini. Semua mau buru-buru
saja. Juga bakulnya sekarang tidak sabar lagi seperti dulu.
Gamelan? Tarian klasik Mataram? Mana semua itu! Betul masih
terdengar nang-ning-nung tapi ditingkah begitu banyak kebisingan
di mana-mana apa artinya itu? Betul orang di sana-sini masih
menari tapi rasanya kok makin gemerlapan bajunya, makin kesusu
narinya, makin komersial mutunya. Betul nggak observasi saya
ini? Pokoknya aku merasa kehilangan banyak sekali. Aku sedih.
Aku juga sedih karena kau kelihatannya kok nggak begitu sedih
....
****
Uah, uah, uuwwaahh! Cleng, cleng, cleng rasanya mendengar
keluhan sang bule ini. Alangkah menyakitkan tetapi juga alangkh
aneh rentetan keluhan begitu keluar dari mulutnya. Mulut seorang
yang datang dari satu dunia yang selalu kita asosiasikan dengan
kebisingan dan ketergesaan sebagai akibat dari gaya-hidup budaya
industri. Tapi yang sekarang merasa tidak kerasan tinggal di
Yogya karena kebisingan dan ketergesaan.
Apakah ini? Kecewa terhadap citra "Proporsi kebudayaan" yang dia
bentuk sendiri? Mungkin ada gambar-gambar yang sudah dia
sediakan buat masing-masing kebudayaan yang indah dan seakan
tidak akan berubah. Waktu kemudian ternyata gambar itu bisa
berubah dia gelo bukan main. Maka buru-buru dia mengepak
kopornya kembali ke gambar-budayanya yang anehnya bisa indah,
tenteram dan lengang.
Kota universitas kecil yang dia pilih di Amerika Serikat itu
masih banyak yang bergambar-budaya begitu. Deretan pohon maple,
rumah-rumah bercat putih, suara kloneng-kloneng genta gereja
kecil . . .
Gambar-budaya kota universitas Gadjah Mada yang adem ayem,
tentrem, adi luhung sedang berubah bagaimana? Seberapa berdaya
kita ikut menentukan rupa gambar itu?
Kemewahan-kemewahan kecil masih adakah kamu . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo