Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Kesempatan MKMK Menjaga Demokrasi

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akan membuat putusan penting besok. Kesempatan menyelamatkan demokrasi.

6 November 2023 | 06.15 WIB

Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memimpin rapat rapat MKMK di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 26 Oktober 2023. Rapat dengan  agenda klarifikasi kepada pihak-pihak terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memimpin rapat rapat MKMK di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 26 Oktober 2023. Rapat dengan agenda klarifikasi kepada pihak-pihak terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Editorial Tempo.co

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

---

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memegang mandat penting menyelamatkan demokrasi Indonesia. Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan R. Saragih akan memutuskan apakah sembilan hakim konstitusi bersalah secara etik atau tidak saat membuat putusan gugatan Pasal 169 Undang-Undang Pemilihan Umum pada 16 Oktober lalu.

Ketiganya sudah selesai memeriksa para hakim konstitusi itu. Menurut Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersalah karena memimpin sidang gugatan Pasal 169 padahal aturan tersebut menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden.

Pasal 169 huruf q mengatur syarat kandidat presiden dan wakil presiden berusia minimal 40 tahun. Almas Tsaqibirru Re A, mahasiswa Universitas Surakarta, menggugat pasal ini dengan menambahkan frasa “atau menjadi pejabat negara”. Motif Almas membuka jalan politik Gibran terbuka dalam Pemilu 2024. Menurut UU Pemilu, Wali Kota Solo itu belum cukup umur karena baru berusia 36.

Lima hakim konstitusi, termasuk Anwar, menerima gugatan itu. Anwar Usman bahkan melobi dan mengintervensi hakim lain agar mengabulkan gugatan tersebut. Hasilnya, para hakim menambahkan klausa di pasal tersebut dengan kalimat “pernah terpilih dalam pemilihan umum”. Akibatnya, Gibran cukup syarat menjadi calon wakil presiden mendampngi Prabowo Subianto.

Apa yang dilakukan Anwar Usman jelas melanggar etik dan konflik kepentingan. Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman melarang hakim mengadili perkara yang menguntungkan ia dan keluarganya. Dengan berpatokan pada pelanggaran ini saja, Majelis Kehormatan seharusnya sudah bisa menyatakan Anwar Usman dan para hakim konstitusi yang mendukungnya bersalah. MKMK bahkan bisa mengajukan pemecatan Anwar Usman secara tidak hormat.

Dengan begitu, putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Pasal 169 cacat formil. Putusan MKMK memang tak akan mengubah putusan hakim konstitusi karena tiap putusan MK bersifat final dan mengikat. Tapi para hakim konstitusi bisa menguji lagi pasal yang telah mereka ubah itu dengan mengabulkan gugatan mahasiswa Nahdlatul Ulama Brahma Aryana.

Brahma mengajukan uji materi atas Pasal 169 yang telah diubah hakim konstitusi itu pada 2 November lalu. Menurut jadwal sidang di Mahkamah Konstitusi, pengujian atas gugatan Brahma akan berlangsung tanggal 8 November 2023, sehari setelah putusan MKMK. Karena itu putusan MKMK, jika menyatakan para hakim bersalah, bisa menjadi dasar pengujian tambahan bahwa putusan 90/PUU-XXI/2023 itu memang cacat.

Para hakim konstitusi bisa menghapus dosa konstitusi mereka dengan mengabulkan gugatan Brahma dan mengembalikan pasal 169 seperti semula. Sebab, ini bukan soal tak memberi kesempatan kepada anak muda menjadi pemimpin Indonesia. Ini soal prosedur berkuasa yang merusak hukum dan demokrasi. Gibran tentu punya hak menjadi calon wakil presiden bahkan calon presiden, tapi tidak dengan memakai kekuasaan paman dan ayahnya, Presiden Joko Widodo, dengan mengutak-atik konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/2023 itu jelas mempertontonkan nepotisme dan hasrat kekuasaan keluarga Jokowi. Gagal menarik simpati publik dan menggalang partai politik memperpanjang masa jabatan presiden, Jokowi memakai anak sulungnya untuk terus berkuasa dengan tindakan tak terpuji memakai tangan iparnya merevisi UU Pemilu.

Main-main Jokowi dengan hukum untuk terus berkuasa berbahaya bagi demokrasi. Majelis Kehormatan MK harus melihat usaha pembalikan demokrasi ini. Jimly Asshiddiqie harus menanggalkan ego pribadi sebagai pendukung Prabowo Subianto. Ia dan dua anggota MKMK bisa memberikan sumbangan besar menyelamatkan demokrasi dengan menyatakan para hakim konstitusi itu bersalah karena telah menghamba pada kekuasaan.

Lalu para hakim konstitusi itu hendaknya insaf. Apa yang mereka lakukan tak hanya mencederai harapan publik akan hakim yang independen dan tegaknya konstitusi yang melindungi demokrasi, juga akan mengembalikan Indonesia ke masa otoritarian. Jika mereka masih punya nurani, mengabulkan gugatan Brahma Aryana menjadi kesempatan menebus dosa sejarah hitam yang memalukan ini.

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Jakarta Jurnalis Award dan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita. Sejak 2023 menjabat wakil pemimpin redaksi

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus