Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AJUN Komisaris Polisi Jumantoro yang ditangkap karena diduga menjadi pengedar dan sekaligus pemakai narkoba jelas mencoreng-moreng wajah kepolisian. Kepala Kepolisian Sektor Cisarua, Bogor, itu jelas melanggar hukum dengan menyimpan sabu-sabu dan ribuan pil ekstasi di rumahnya. Tindakan Kepala Kepolisian RI yang langsung memecatnya sebagai Kapolsek sudah tepat. Aparat memikul tugas membasmi perdagangan narkoba dan bukan ikut-ikutan bermain dalam jaringan obat terlarang itu.
Kasus Jumantoro adalah sebuah fakta: polisi belum berhasil membersihkan diri dari narkoba. Maret lalu, Kepolisian Daerah Jawa Barat menangkap tiga polisi yang sedang berpesta narkoba di sebuah hotel di Bandung. Sebulan sebelumnya, seorang perwira anggota Unit IV Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Komisaris Pudja Laksana, juga ditangkap karena membawa 900 butir ekstasi di mobilnya. Kisah Pudja menjadi lebih tragis karena ia akan memasuki pendidikan Sekolah Pimpinan Polri. Sulit dibayangkan masa depan institusi polisi dengan calon pemimpin yang bersahabat akrab dengan narkotik.
Usaha membersihkan polisi dari narkoba ini perlu menjadi prioritas. Sebab, polisi yang terlibat kejahatan psikotropik ini sudah merata di semua level—dari pangkat terendah hingga perwira. Telah banyak polisi menjadi pemakai, pengedar, bahkan pelindung jaringan narkoba. Nilai materi yang menggiurkan kelihatannya menjadi daya tarik sampai polisi mau mengorbankan karier dan kehormatan. Maka pembersihan bisa dimulai dengan mengharuskan kepala kepolisian di setiap daerah menyerahkan data anak buahnya yang terlibat narkoba. Ini bukan pekerjaan mudah mengingat kepala polisi daerah pasti mempertimbangkan konduite dan karier, tapi Kapolri perlu mengeluarkan instruksi tegas.
Sekarang saatnya Kapolri membuktikan ucapannya bahwa ia akan menindak keras polisi yang terjerumus narkoba. Kapolri pernah menyatakan tak bisa menerima alasan apa pun bagi anggotanya yang bermain narkoba, termasuk gaji kecil dan fasilitas yang minim. Kampanye antinarkoba harus dimulai dari dalam tubuh polisi sendiri.
Salah satu yang harus dilakukan adalah mengawal ketat hasil razia narkoba. Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa hasil razia itu justru dijual atau dipakai sendiri oleh sejumlah polisi. Kalau tidak ada tindakan untuk hal ini, bisa-bisa markas polisi dituding masyarakat sebagai gudang sindikat narkoba.
Selanjutnya, secara berkala polisi harus menjalani tes urine. Jika dari hasil tes terbukti seorang polisi mengkonsumsi narkoba, segera diambil tindakan tegas dan dilakukan penyelidikan. Mesti dipastikan apakah polisi itu sekadar pemakai atau juga pengedar narkoba. Yang baru coba-coba belajar memakai narkoba boleh dihukum ringan, tapi pecandu dan pengedar tak perlu diampuni.
Yang menjadi pecandu dan pengedar, selain dipecat dari anggota kepolisian, mesti dibawa ke pengadilan. Hukuman berat akan menjadi sinyal kuat bahwa pemimpin polisi saat ini serius melawan kejahatan narkoba. Kalau tindakan begini konsisten dilakukan, akan tercipta atmosfer baru di kepolisian: bermain-main dengan narkoba berat hukumannya.
Tentu pengawasan internal harus ditingkatkan. Polisi perlu mempunyai sistem alarm yang segera berdering begitu ada anggota yang terlibat. Dengan cara seperti itu, institusi polisi bebas dari potensi sebagai sarang pengedar narkoba. Kesadaran baru yang diharapkan tumbuh di korps berbaju cokelat itu: narkoba bukan sahabat, melainkan musuh polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo