Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Episode tentang Nunun Nurbaetie dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 menunjukkan betapa lembeknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Badan yang semestinya superior ini terus-menerus tampak kedodoran, kalah langkah, dan seperti ciut nyali. Harus diakui, sebagian penyebabnya berasal dari dalam dirinya sendiri.
Lihatlah bagaimana Komisi menghadapi ”pembangkangan” Nunun. Sejak menangani kasus sogokan cek pelawat dalam pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI, cuma sedikit yang diperoleh KPK dari Nunun. Sempat diperiksa sebagai saksi, Nunun lebih banyak menjawab ”tidak tahu” dan ”lupa”. Jawaban ini sengaja dijadikan tameng untuk menghindari pemeriksaan lanjutan—belakangan diklaim sebagai penyakit permanen Nunun.
Sehari sebelum dicekal, perempuan yang kerap beredar di pergaulan tingkat atas itu ”kabur” ke luar negeri—katanya untuk berobat. Ini hanya selang beberapa hari dari surat cegah-tangkal KPK yang terlambat dilayangkan. Nunun mendarat di Singapura pada 23 Februari 2010, lalu terekam Imigrasi juga mondar-mandir Singapura-Thailand. Selama setahun lebih, jangankan membawa Nunun pulang, memastikan keberadaannya saja Komisi kesulitan.
Ada kesan Komisi dibuat tak berdaya. KPK seharusnya bisa segera menetapkan Nunun sebagai tersangka (justru baru dilakukan pada Februari tahun ini) dan meminta penarikan paspornya. Kenyataannya, KPK serba terlambat melakukan tindakan penting ini. Komisi seperti ditelikung oleh kalangan internal yang tahu persis apa saja yang hendak dilakukan badan antikorupsi ini terhadap Nunun.
Syak bisa muncul bahwa penjegalan datang dari lingkungan dalam. Jika kecurigaan ini dipersempit—seperti telah dikemukakan Indonesia Corruption Watch—para penyidik KPK, khususnya yang berasal dari kepolisian, adalah bagian yang sangat rentan konflik kepentingan. Ini klop dengan latar belakang Nunun. Dia istri Adang Daradjatun, mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang kini menjadi anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera. Wajar bila ada keyakinan Adang masih punya pengaruh, terutama di lingkungan kepolisian.
Adang juga sejauh ini tampak paham betul bagaimana membentengi diri supaya tak harus ikut memudahkan penyidikan KPK. Dia sengaja memanfaatkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 221 ayat 2) yang membebaskan anggota keluarga dari hukuman walau menutupi keberadaan tersangka perkara pidana. Adang tak pernah menjawab pertanyaan di mana istrinya—tindakan yang membuat dia seharusnya tak berhak sama sekali menyandang status terhormat dan label bermoral.
Problem internal Komisi memang tak terelakkan. Menjalankan tugas dengan penyidik dari instansi yang kerap dicitrakan sangat korup, sehingga menjadi alasan dibentuknya KPK, bagaimanapun, tampak bagai lelucon pahit. Karena itulah, demi menghindari hal yang sama, Hong Kong memilih penyidik yang tak ada sangkut-pautnya dengan instansi penegak hukum setempat ketika membentuk Independent Commission Against Corruption pada 1974, badan yang menjadi model KPK.
Mengkaji ulang keberadaan penyidik dari luar merupakan langkah minimal bagi KPK. Pilihan terbaiknya, tentu saja, mulai berupaya mempunyai penyidik sendiri. Senyampang memproses langkah ini, pihak-pihak yang berwenang dalam urusan legislasi seharusnya memikirkan pula inisiatif untuk mengecualikan pasal yang ”membolehkan” anggota keluarga menyembunyikan tersangka.
Agar KPK bertaji, dan tak ada yang mengikuti jejak Adang, urgensi terobosan ini tak bisa ditawar lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo