Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMENDEMEN Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan tampaknya harus segera dilakukan. Satu yang terpenting dalam peraturan itu adalah tata cara pemilihan anggota BPK. Selama ini, anggota Badan Pemeriksa dipilih langsung oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Cara ini mengakibatkan anggota BPK diseleksi berdasarkan "selera" politik anggota Dewan, terkadang dengan mengabaikan integritas dan kemampuan teknis sang calon.
Perihal "selera" politik sebetulnya nyaris tak terhindarkan. Tapi "subyektivitas" itu semestinya bisa dihindari jika ada mekanisme seleksi oleh panitia khusus—sesuatu yang terjadi pada pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Panitia itulah yang mengayak kandidat yang mendaftar, kemudian mengajukan calon terbaik kepada DPR untuk dipilih. Dengan mengasumsikan panitia seleksi bekerja profesional, kandidat yang disorongkan ke DPR adalah mereka yang integritas dan kemampuan teknisnya tak diragukan. Tanpa itu semua, yang terjadi adalah kongkalikong dan transaksi kepentingan.
Adalah Rizal Djalil dan Moermahadi Soerja Djanegara, dua anggota BPK yang Oktober mendatang selesai masa jabatannya dan berhasrat mencalonkan diri kembali. Rizal akhir bulan ini akan meramaikan bursa pemilihan Ketua BPK pengganti Hadi Poernomo, yang segera pensiun.
Bursa perebutan kursi ketua itu disinyalir memunculkan kolusi, baik antar-anggota BPK maupun antara BPK dan Komisi Keuangan DPR—komisi yang memilih anggota dan ketua badan auditor negara itu.
Persekongkolan kandidat Ketua BPK dengan anggota DPR dilakukan dengan memanfaatkan kewenangan BPK. Salah satu caranya adalah memanfaatkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) Kementerian Pendidikan. Selama ini, Kementerian Pendidikan merupakan "wilayah" pemeriksaan Rizal Djalil.
Ada dugaan Rizal "menekan" Kementerian agar program BSM itu menguntungkan anggota Dewan. Caranya dengan menggelar seremoni penyerahan BSM di kawasan yang merupakan daerah pemilihan sejumlah anggota Komisi Keuangan dalam pemilu lalu. Di Karawang dan Purwakarta, misalnya, bantuan itu dibagikan secara simbolis oleh Ade Komarudin, anggota Komisi Keuangan dari Partai Golkar. Di Subang, ada Maruarar Sirait dari PDI Perjuangan. Di setiap seremoni, para legislator berpidato panjang lebar.
Meski terkesan wajar, upacara itu mengundang tanya. Mengapa anggota DPR yang "diundang" dalam serah-terima BSM bukan dari Komisi Pendidikan, melainkan dari Komisi Keuangan? Kecurigaan makin mengental karena panggung gratis untuk para legislator itu didapat pada masa kampanye.
Praktek kongkalikong ini tak boleh dibiarkan. Mereka yang menyalahgunakan jabatan mesti diperiksa. Kemungkinan gratifikasi harus ditelisik. Kementerian Pendidikan tak perlu takut bersuara jika benar programnya ditunggangi para politikus. Jika terbukti, anggota BPK yang menyalahgunakan jabatan harus diberhentikan.
BPK adalah badan negara yang selayaknya independen dari segala kepentingan. Kongkalikong anggota badan itu dengan legislator DPR bisa menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk menelisik pelbagai potensi pelanggaran. Melalui kasus ini, keabsahan audit BPK selama ini juga bisa dipersoalkan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo