Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Konfrontasi Puisi Wiji Thukul

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jika kau menghamba kepada ketakutan,
kita memperpanjang barisan perbudakan"

WIJI Thukul hilang. Barangkali sengaja "dihilangkan". Tapi perlawanannya tak pernah berhenti. Lewat puisi, ia terus menebar "konfrontasi", menentang kekuasaan yang mencabut kedaulatan manusia, menjadi "budak" yang digerakkan, atau disingkirkan, ke mana suka. Mugiyanto, aktivis prodemokrasi 1998 yang pernah diculik, mengutip puisi Thukul itu dalam salah satu kolom di media untuk mengingat sang penyair yang sampai sekarang tak ketahuan rimbanya. Mungkin saja ia korban penghilangan paksa, bersama 12 aktivis 1998 yang lain. Pada Mei ini, mereka terhitung sudah "lenyap" selama 15 tahun.

Selama itu pula kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi menjadi "noda hitam" riwayat penegakan hukum Indonesia. Selain kasus dari masa menjelang keruntuhan Orde Baru, pemerintahan era "reformasi" ini ternyata juga menyimpan catatan buruk. Aktivis Aceh, Jafar Sidiq, hilang pada 2001, Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay raib pada tahun yang sama. Tahun berikutnya, Musliadi, aktivis Aceh, juga hilang. Pada 2007, pegiat hak asasi manusia Munir diracun di pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan menuju Belanda.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut kasus Munir sebagai test of our history. Pemerintah gagal dalam ujian itu. Otak pembunuhan tak terungkap, motif pelenyapan Munir juga tetap terkunci rapat. Pilot pesawat Garuda, Pollycarpus, dihukum 20 tahun penjara—itu pun setelah Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Tersangka lain, Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi V Bidang Penggalangan Badan Intelijen Negara, dibebaskan oleh pengadilan.

Pengungkapan kasus 1998 tidak lebih baik. Sepuluh aktivis yang diculik telah dibebaskan, tapi 13 lainnya sampai sekarang belum kembali. Pada 1999, majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta menjatuhkan vonis terhadap sebelas anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus)—yang dikenal dengan sebutan Tim Mawar, eksekutor penculikan itu. Aksi yang mereka sebutkan "demi hati nurani, negara, dan bangsa" itu dianggap ketua majelis hakim telah merampas kemerdekaan orang lain tanpa hak.

Kendati anggota Tim Mawar dijatuhi hukuman penjara 12-22 bulan, inisiator penculikan itu sama sekali tak terungkap. Sangat aneh menyaksikan majelis hakim percaya begitu saja pada surat dakwaan oditur yang membatasi tanggung jawab pelanggaran hak asasi manusia itu pada perorangan. Dengan konstruksi dakwaan lemah itu, pengadilan mendapat "pembenaran" untuk tidak mengusut lebih jauh, termasuk tidak menghadirkan atasan Tim Mawar, Komandan Jenderal Kopassus, yang waktu itu dijabat Prabowo Subianto. Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk kemudian meminta Prabowo pensiun lebih cepat.

Amanat konstitusi bahwa setiap warga negara berkedudukan setara di muka hukum jelas belum tercapai. Dengan bermacam dalih, ada semacam privilese yang diberikan pemegang kekuasaan eksekutif dan yudikatif di negeri ini untuk kelompok itu—perlakuan yang sudah ditiadakan di negara-negara demokratis. Tapi keadaan ini pun tidak melenyapkan tanggung jawab pemerintah atas kasus penghilangan paksa.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa menegaskan bahwa kejahatan kemanusiaan itu sifatnya berkelanjutan, atawa tak mengenal kedaluwarsa. Berarti kasus pelanggaran hak asasi manusia kategori itu tak bisa dipetieskan selama belum diungkap, sepanjang pelakunya belum diusut dan dipidana. Pemerintah Indonesia, yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, juga Konvensi Menentang Penyiksaan, sesungguhnya perlu menegaskan komitmen untuk lebih menghormati hak asasi manusia dengan meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Merujuk pada konvensi-konvensi internasional ini merupakan keharusan. Paling tidak, itu pelajaran yang bisa diambil pemerintah dari pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi. Selain menganggap undang-undang itu tidak memberikan jaminan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat sebagian pasal tidak selaras dengan hukum dan konvensi internasional. Di luar pro-kontra, pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mengharuskan pemerintah tetap mengusut pelanggaran hak asasi, termasuk penghilangan paksa (enforced disappearance). Pemerintah perlu menjalankan deklarasi PBB yang mencegah pihak yang diduga tersangkut perkara ini mendapat keuntungan dari amnesti atau tindakan serupa itu.

Wiji Thukul berteriak, hanya ada satu kata: lawan! Pemerintah semestinya lebih bertenaga ketimbang sebaris puisi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus