Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEBRAKAN Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajarannya patut didukung. Program reformasi total di lingkungan birokrasi Departemen Keuangan itu memunculkan harapan akan upaya pemberantasan korupsi yang telah berurat-berakar berpuluh tahun.
Dirintis lima tahun lalu oleh Boediono—kini Menteri Koordinator Perekonomian—program itu bergulir kencang setelah Sri Mulyani mengeluarkan surat keputusan tentang paket reformasi tahun ini. Empat direktorat jenderal yang dikenal sebagai sarang korupsi: Pajak, Bea-Cukai, Perbendaharaan Negara, dan Kekayaan Negara, dibongkar total. Ribuan pegawai dimutasi. Semua karyawan Bea-Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, ditukar dengan muka baru.
Sudah benar langkah berani ini ditempuh oleh Direktur Jenderal Bea-Cukai Anwar Suprijadi. Sebab, hanya dengan cara ini, pintu gerbang perdagangan Indonesia dengan dunia itu bisa bebas dari aroma kolusi dan korupsi. Menurut survei Komisi Pemberantasan Korupsi, rata-rata pungutan liar di sana per bulan mencapai Rp 890 juta. Negara pun ditaksir rugi Rp 12,8 miliar sebulan gara-gara aparat main mata dengan importir memanipulasi tarif bea masuk.
Persoalan muncul menyangkut program remunerasi untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan di departemen ini. Usul pemberian tunjangan Rp 1,3 triliun yang diajukan Sri langsung ditentang anggota DPR. Mereka pun tak sepakat dengan pelipatgandaan gaji para petugas pemeriksa pajak dan bea-cukai. Alasannya, bisa menimbulkan kecemburuan.
Dewan sebaiknya mendasarkan pertimbangan pada kalkulasi cost and benefit: tidak memperhitungkan sisi biaya semata, tapi juga aspek manfaat dan keuntungan yang diperoleh. Toh, pembengkakan pengeluaran itu ujung-ujungnya bisa ditutup oleh tambahan penerimaan negara, yang selama ini bocor dikorup aparat dan pengusaha nakal. Kuncinya adalah memperketat pengawasan aparat dengan ancaman sanksi superberat.
Pengalaman Singapura bisa menjadi contoh. Di bawah kepemimpinan tegas Lee Kuan Yew, negeri mungil yang pada 1960-an masih miskin itu kini menjelma menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Pendapatan per kapitanya melonjak drastis dari sekitar US$ 450 menjadi US$ 31.700—Indonesia kini baru US$ 3.950. Negeri Singa itu pun hanya kalah dari Amerika Serikat dalam urutan negara paling bersih dan kompetitif di dunia.
Kunci sukses mereka salah satunya terletak pada keberhasilan pemerintah membenahi jajaran birokrasi. Program reformasi total digeber sejak Partai Aksi Rakyat pimpinan Lee berkuasa pada 1959. Itu dimulai dengan pendirian pusat studi politik sebagai sarana pendidikan mental para pegawai yang bobrok. Orientasi birokrasi diubah untuk merespons kebutuhan rakyat. Sistem meritokrasi yang mendasarkan promosi jabatan pada kompetensi, bukan senioritas, digalakkan. Birokrat korup pun ditumpas habis.
Sebagai konsekuensinya, sejak 1972, pemerintah terus menaikkan gaji pegawai. Gaji para menteri dan pejabat senior sejak 1994 bahkan didasarkan pada rata-rata gaji tertinggi di enam sektor utama swasta. Alhasil, pendapatan Perdana Menteri Singapura US$ 1,1 juta, tiga kali lipat lebih tinggi dari Presiden Amerika Serikat.
Keberhasilan Singapura tak lepas dari dukungan penuh parlemen. Sedangkan di Indonesia, program reformasi birokrasi tampaknya masih parsial. Presiden Yudhoyono mestinya menjadi dirigen untuk menyelaraskan irama orkestra semua departemen. SBY juga perlu meyakinkan DPR, yang sampai sekarang masih menyuarakan nada-nada sumbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo