Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Langkah Awal untuk Papua

Pemberian grasi kepada lima tahanan aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta pernyataan Papua sebagai wilayah terbuka untuk wartawan asing merupakan langkah Presiden Joko Widodo yang berani dan layak dipuji. Namun keberanian itu tidak akan membuat Papua lebih aman, sejahtera, dan damai apabila Jokowi tidak mengantongi agenda yang tepat.

12 Mei 2015 | 23.23 WIB

Langkah Awal untuk Papua
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Pemberian grasi kepada lima tahanan aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) serta pernyataan Papua sebagai wilayah terbuka untuk wartawan asing merupakan langkah Presiden Joko Widodo yang berani dan layak dipuji. Namun keberanian itu tidak akan membuat Papua lebih aman, sejahtera, dan damai apabila Jokowi tidak mengantongi agenda yang tepat.

Enam pemerintahan--semenjak Presiden Sukarno--silih berganti, tapi Papua tetap seperti sebuah provinsi yang berada di luar Indonesia. Sejak bergabung ke dalam wilayah Republik Indonesia pada 1 Mei 1963, Papua--waktu itu Irian Barat--tidak pernah berhenti bergolak.

Kekerasan bernuansa separatisme, pelanggaran HAM oleh aparat keamanan, serta konflik horizontal telah menjadi bagian dari siklus kehidupan masyarakat Papua setiap hari. Entah sudah berapa banyak kematian yang sia-sia. Jelas, pendekatan militeristis untuk mengatasi gejolak separatisme menunjukkan bahwa negara ini telah gagal membuat orang Papua merasa sebagai warga Indonesia.

Menggembirakan bahwa Jokowi berjanji pemberian grasi ini akan berlanjut dengan grasi yang lain. Demikian juga janji pengucuran dana Rp 6 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ya, Papua adalah sang tikus yang mati di lumbung padi. Di tengah sumber daya alamnya yang begitu melimpah dan kucuran dana Otonomi Khusus yang sangat besar, masyarakat Papua masih terbelenggu kemiskinan, juga minimnya pendidikan, kesehatan yang buruk, dan keterbelakangan.

Sementara itu, menghadapi pembiaran suasana represif yang berlangsung setengah abad lebih ini, mungkin kita bisa memetik manfaat dari usulan agenda yang diajukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009. Belajar dari penyelesaian masalah separatisme di Aceh, LIPI mengusulkan sebuah road map yang meliputi pengakuan identitas Papua, termasuk sejarah Papua, dialog, rekonsiliasi, dan pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia.

It is forgiven but not forgotten. Inilah rekonsiliasi yang bukan hanya membuka jalan untuk mengadili para pelaku kekerasan, melainkan solusi untuk memutus mata rantai kekerasan sekaligus membangun perdamaian dan kesejahteraan di Papua.

Ada satu lagi yang perlu dicatat. Susah dipahami, mengapa sampai diperlukan seorang presiden baru dan waktu berpuluh tahun untuk membuka Papua bagi pers asing. Ketertutupan yang diimplementasikan selama ini melalui pelbagai izin dari berbagai instansi untuk peliputan pers di Papua terbukti kontraproduktif: mengundang aneka kecurigaan dan prasangka.

Jokowi telah mengayunkan langkah untuk Papua, kendati perlu diuji. Kita tentu ingat bagaimana perintah Presiden untuk mengakhiri kriminalisasi terhadap Ketua KPK ternyata tak dipatuhi. Karena itu, dibutuhkan ketegasan seorang presiden apabila hambatan seperti ini juga terjadi dalam membangun Papua yang lebih baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus