Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Larangan Ekspor Minyak Sawit dan Ancaman Gugatan di WTO

Pelarangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng oleh Presiden Jokowi bertentangan dengan aturan perdagangan internasional. Berpotensi digugat di WTO.

26 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Joko Widodo mengumumkan larangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng.

  • Kebijakan itu tak sesuai dengan pengecualian pembatasan ekspor dalam aturan GATT.

  • Kebijakan Jokowi itu berpotensi digugat negara anggota WTO.

Kristianus Jimy Pratama
Kandidat Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Keributan soal minyak goreng memasuki babak baru. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan tiga orang dari pihak swasta sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit, bahan baku minyak goreng. Burhanuddin menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia minyak goreng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini diikuti keputusan Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor minyak sawit dan minyak goreng mulai 28 April 2022 hingga waktu yang akan ditentukan kemudian. Jokowi menerangkan bahwa langkah ini diambil lantaran ketersediaan minyak goreng di dalam negeri belum terpenuhi.

Melalui kebijakan terbaru ini, pemerintah tampak tengah berupaya menunjukkan kekuatannya untuk mengendalikan kuota dan harga minyak goreng dalam negeri serta keberpihakan kepada masyarakat. Namun apakah kebijakan ini sudah tepat?

Bukan hal yang baru bagi pemerintah untuk menerapkan suatu kebijakan yang pada dasarnya adalah melarang ekspor suatu produk. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melarang ekspor nikel, yang kemudian bermuara pada gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Di satu sisi, pelarangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng memang dapat memberikan ruang dan waktu bagi pemerintah untuk menstabilkan kuota serta harga minyak goreng di dalam negeri. Di sisi lain, pemerintah harus mengingat pula Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, yang menegaskan bahwa Indonesia terikat secara moral dan yuridis oleh ketentuan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) 1947 serta GATT 1994 yang berlaku bagi negara anggota WTO.

Ketentuan GATT 1947 pada prinsipnya melarang negara anggota WTO menghambat perdagangan internasional yang dapat merugikan negara anggota lainnya. Ketentuan itu juga melarang secara tegas pembatasan kuantitatif oleh negara anggota terhadap mekanisme perdagangan internasional, yang salah satunya menghambat penerimaan kuota ekspor.

Ketentuan Pasal XX GATT 1994 memang memberikan beberapa pengecualian, seperti perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut masyarakat serta untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang, dan tumbuhan. Apakah pelarangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng termasuk dalam pengecualian ini?

Apabila ketentuan Pasal XX GATT dicermati, kebijakan pemerintah itu tampaknya tidak termasuk yang dikecualikan. Kebijakan itu akan memantik masalah perdagangan internasional dengan negara anggota GATT lainnya.

Selain itu, GATT mengatur bahwa negara anggota diperbolehkan membatasi produk ekspor pada produk material domestik yang diperlukan guna memastikan kuantitas produk tersebut untuk industri pengolahan dalam negeri, selama periode harga produk tersebut di bawah harga dunia sebagai bagian dari rencana stabilisasi pemerintah. Dalam hal ini, setidaknya ada dua masalah dalam kebijakan pelarangan ekspor pemerintah.

Masalah pertama timbul dari diksi "pelarangan" yang digunakan pemerintah. Sedangkan GATT menggunakan "pembatasan". Jelas makna keduanya jauh berbeda. Pembatasan ekspor masih memberikan ruang bagi kegiatan ekspor produk domestik. Sedangkan pelarangan ekspor bermakna ditutupnya keran ekspor produk domestik tersebut. Alih-alih berupaya memastikan kuota dalam negeri tersedia, tertutupnya kuota ekspor ini akan mempengaruhi total kuota ekspor di pasar internasional minyak sawit dan minyak goreng.

Dengan demikian, pelarangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng akan mengurangi total kuota ekspor produk tersebut. Hal tersebut juga akan membuat semakin terbatasnya jumlah kuota produk itu yang dapat diakses negara-negara anggota GATT. Pelarangan tersebut juga akan membuat harga produk itu naik. Masalah pertama ini akan melahirkan masalah yang kedua, yaitu syarat bahwa pembatasan dapat dilakukan bila harga produk domestik berada di bawah harga dunia tidak terpenuhi.

Dengan tidak terpenuhinya syarat pengecualian ini, tak pelak, kebijakan pemerintah ini berpotensi digugat oleh negara anggota WTO. Hal ini tentu kontraproduktif dengan harapan pemerintah untuk menstabilkan kuota dan harga minyak goreng di dalam negeri.

Ada pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Pemerintah perlu memperhitungkan adanya kemungkinan gugatan ini, yang bukan tidak mungkin akan banyak biaya ganti rugi yang harus dibayar pemerintah nantinya. Bukan tidak mungkin pula masalah minyak goreng justru akan berkepanjangan akibat adanya kebijakan larangan ekspor ini. 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus