Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Memoar Seorang Anak dari Selatan

Diangkat dari memoar seorang warga Ohio yang mengalami kekerasan, film baru di saluran Netflix ini menyatakan American Dream tak mustahil. 

26 Januari 2021 | 07.15 WIB

Poster film Hillbilly Elegy.
Perbesar
Poster film Hillbilly Elegy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Hillbilly Elegy

Sutradara: Ron Howard
Skenario: Vannesa Taylor
Berdasarkan memoar dengan judul yang sama karya JD Vance
Pemain:  
Glenn Close, Amy Adams, Gabriel Basso, Haley Bennett, Freida Pinto, Bo Hopkins, Owen Asztalos

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo


Ada saatnya, kita dengan giat ingin menghapus jejak masa lalu. Ada saatnya kita justru mengenang-ngenangnya dan ingin mengulang segala yang manis. Untuk waktu yang lama, J.D Vance seorang pengacara dan pemodal ventura alumni Universitas Yale bukan sekadar risih pada masa lalunya yang jauh dari kemegahan hidup di kampus Ivy League. Dia malas memperkenalkan masa kecilnya dan keluarganya pada sang kekasih, lebih karena tak ingin membuka luka lama yang masih sangat basah dan menyakiti hatinya.

Di dalam memoarnya berjudul "Hillbilly Elegy: A Memoir of a Family and Culture in Crisis" (Harper Press, 2016), Vance bercerita bagaimana hidupnya sebagai putera Bev, ibunya orang tua tunggal yang hamil sejak remaja dan ditinggal suaminya; kecanduan narkoba dan alkohol dan berganti-ganti suami dan kekasih dengan tujuan agar anak-anaknya memperoleh ‘rumah yang tentram’. Memoar ini adalah sebuah perjalanan Vance kembali ke masa kecil yang penuh kekerasan di Middletown, Ohio.

Novel yang kemudian menghebohkan ini menjadi peringkat tertinggi The New York Times Best Seller tahun 2016 yang diangkat menjadi film oleh sutradara Ron Howard. Di dalam bentuk film, kisah kemiskinan serangkaian keluarga di beberapa negara bagian Selatan Amerika Serikat dan apa yang disebut sebagai kebudayaan Appalachian dibenturkan dengan snobisme para penghuni 'Ivy League'. Pada sebuah acara makan malam para alumni dan petinggi Universitas Yale langsung risih ketika mendengar tokoh JD Vance (Gabriel Basso) berasal dari Ohio dan merendahkannya dengan sebutan 'redneck' sementara dia tercenung melihat deretan garpu dan pisau di hadapannya.

Howard melakukan serangkaian adegan kilas balik antara Vance masa kecil (diperankan dengan bagus oleh Owen Asztalos) yang menyaksikan ibunya bekerja sebagai perawat rumah sakit, yang berganti-ganti pasangan dan melakukan kekerasan kepada anak-anaknya saat dia sedang di bawah pengaruh narkoba. Lantas kita akan langsung terbang pada Vance dewasa yang berada di tengah kesibukan mencari kesempatan magang setelah lulus sekolah hukum Yale University. Di masa dewasa ini pula kita mengenal kekasih Vance bernama Usha (Freida Pinto) yang sangat mendukung dan mengakomodasi segala kegelisahan Vance menghadapi dunia snob ini.

Tetapi di jagat akademik dan intelektual itu, Vance tetap merasa 'ditarik' ke masa lalunya. Sang Ibu masuk rumah sakit, dan Vance harus segera merelakan jadwalnya koyak-moyak untuk mengurus keluarganya, karena pada akhirnya "saya tetap harus bertanggungjawab atas keluarga saya". Sang ibu (Amy Adam yang menambah beberapa kilogram lemak dan seni peran yang cemerlang) yang sudah terlalu tergantung pada heroin; sudah langganan didepak pacar akhirnya menyeret Vance pada fase yang memaksa dia teringat luka lama. Vance ada pada persimpangan: apakah dia harus memikirkan masa depan atau tetap menemani ibunya yang tergeletak karena heroin di kampung halaman?

Ron Howard adalah sutradara yang pernah membuat kita terpana oleh karya-karya seperti "A Beautiful Mind" (2001) dan "Frost/Nixon" (2008). Tapi, dia juga pernah menghasilkan film serial Robert Langdon yang membuat kita garuk kepala.

Problem film ini bukan pada kontroversi para pembaca dan penonton yang menuduh JD Vance (dan juga sutradara Ron Howard) membuat generalisasi tentang kemiskinan struktural yang menyebabkan kemerosotan moral pendidikan, melainkan karena Howard tidak berupaya membuat gaya penceritaan yang unik. Kisah keluarga disfungsional adalah sesuatu yang sudah dilakukan ratusan atau ribuan kali oleh sineas dari negara manapun.

Sineas Hollywood sudah sangat sering mengangkat kisah keluarga Amerika Serikat, lengkap dengan stereotipe mereka yang dianggap anti-orang asing (karena itu anti imigran); mengabdi pada keluarga dan klan (ingat, area ini adalah akar berdirinya Ku Klux Klan), dan anti intelektualisme. Tidak heran memoar Vance menjadi populer di antara kaum demokrat dan liberal, dan menjadi pegangan karena konon mereka ingin memahai mengapa sosok seperti Trump dipilih dianggap bisa menjadi 'penyelamat' bagi warga Selatan dalam pemilu empat tahun silam.

Meski Glenn Close yang berperan sebagai nenek Mamaw dan Amy Adams sama-sama didengungkan bakal meluncur masuk dalam perhitungan Academy Awards 2021, namun film ini secara keseluruhan bukan karya terbaik Ron Howard. Dibanding karya yang mengangkat keluarga di negara bagian selatan Amerika Serikat, sebutlah 'Prince of Tides' (Barbra Streisand, 1991) yang diangkat dari novel Pat Conroy, jauh lebih meninggalkan jejak ketimbang film ini.

Namun "Hillbilly Elegy" tetap wajib ditonton karena, seperti kata JD Vance, ini sebuah komentar sosial dan problem budaya yang berdasarkan pengalaman pribadi yang tak terbantahkan. Pada akhir cerita, Vance mengaku: seberapapun buruk masa lalunya, dia tak akan bisa meralat apalagi menghapusnya. Itu menjadi bagian menjadi dirinya yang akhirnya bisa membawa dia pada keberhasilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus