Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Memutus Siklus Kekerasan Dalam Keluarga

Pembunuhan empat anak di Jagakarsa memperpanjang daftar kasus kekerasan dalam keluarga. Ada faktor penegakan hukum yang lemah dan kondisi ekonomi yang sulit.

11 Desember 2023 | 10.00 WIB

Berdasarkan hasil autopsi yang sudah dilakukan, kematian empat anak Panca sudah sejak 3-5 hari sebelumnya. Tak ada luka pada tubuh mereka selain tanda lebam di daerah mulut dan hidung. Kepala Rumah Sakit Polri Kramat Jati Brigadir Jenderal Hariyanto mengonfirmasi bahwa anak yang jadi korban berinisial V (perempuan 6 tahun), S (perempuan 4 tahun), AS (laki-laki 3 tahun), dan AK (laki-laki 1 tahun). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Perbesar
Berdasarkan hasil autopsi yang sudah dilakukan, kematian empat anak Panca sudah sejak 3-5 hari sebelumnya. Tak ada luka pada tubuh mereka selain tanda lebam di daerah mulut dan hidung. Kepala Rumah Sakit Polri Kramat Jati Brigadir Jenderal Hariyanto mengonfirmasi bahwa anak yang jadi korban berinisial V (perempuan 6 tahun), S (perempuan 4 tahun), AS (laki-laki 3 tahun), dan AK (laki-laki 1 tahun). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Editorial Tempo.co

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

---

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBUNUHAN empat anak oleh ayah kandung di Jagakarsa, Jakarta Selatan, menunjukkan keluarga yang semestinya menjadi lingkungan aman justru menjadi arena kekerasan. Demikian juga dengan orang tua, yang seharusnya mendidik dan memberi kasih, malah menjadi aktor utama kekerasan.

Panca Darmansyah membunuh empat anaknya di rumah kontrakan pada Ahad, 3 Desember lalu. Panca menghabisi anak-anaknya ketika istrinya dirawat di rumah sakit, juga karena menjadi korban penganiayaan sang suami.

Panca telah dilaporkan ke polisi atas tindakan kekerasan yang dia lakukan terhadap sang istri. Kekejian Panca terhadap anaknya semestinya bisa dicegah jika penegak hukum cekatan memproses dan menggulung pria 41 tahun itu dalam kasus penganiayaan kepada pasangannya. Sayang, polisi malah berdalih belum menangkap Panca karena dia masih berstatus saksi dan kasusnya dalam tahap penyelidikan.

Banyak faktor yang berulangnya kekerasan di keluarga. Salah satunya adalah ketidaktegasan aparat dalam menegakkan undang-undang. Penegak hukum kerap menunda penanganan perkara hingga memberi vonis ringan kepada pelaku. Dengan dalih demi keadilan restoratif, polisi bahkan kerap menyarankan kepada para korban untuk berdamai dengan pelaku, sehingga kasusnya bisa dibereskan secara kekeluargaan.

Cara penyelesaian perkara kekerasan semacam itu jelas tak berpihak kepada korban. Korban akan mengalami trauma berkepanjangan. Sedangkan pelaku bisa melenggang bebas dan berpotensi mengulangi tindakan kekerasan yang lebih brutal seperti yang dilakukan Panca.

Di luar faktor buruknya penegakan hukum, kekerasan dalam rumah tangga juga bisa berulang karena latar belakang keluarga dan orang tua. Seseorang yang pernah melihat dan mengalami kekerasan pada masa kecil berrisiko mengidap masalah kesehatan mental dan fisik yang serius dalam jangka panjang. Mereka cenderung membangun hubungan yang disertai kekerasan (abusive relationship) dengan pasangan atau anaknya saat memasuki fase dewasa atau menjadi orang tua.

Siklus kekerasan itu kian bergulung karena masih ada anggapan di masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan privat. Anggapan keliru itu kerap membuat korban seolah-olah tabu untuk mengumbar apalagi melaporkan peristiwa yang dialami kepada kerabat atau aparat. Sementara itu, orang di luar keluarga juga enggan cawe-cawe persoalan rumah tangga orang lain karena menganggap kekerasan keluarga adalah masalah pribadi.

Dalam banyak kasus, kondisi ekonomi turut memicu tindak kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga yang miskin, dengan orang tua yang pengangguran seperti Panca, rawan terjebak dalam lingkaran kekerasan. Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan dari tekanan ekonomi yang dihadapi orang tua.

Relasi kuasa dalam budaya patriarki juga menjadi unsur penyebab kekerasan dalam rumah tangga. Ketika laki-laki atau ayah merasa memiliki kuasa lebih besar daripada anggota keluarga yang lain, di situ ada potensi kekerasan. Tak mengherankan jika mayoritas korban kekerasan keluarga adalah para perempuan dan anak-anak yang dianggap tak berdaya.

Walhasil, karena banyak faktor penyebabnya, upaya memutus rantai kekerasan dalam keluarga pun harus memakai berbagai pendekatan, terutama yang berpihak kepada korban.

Jajang Jamaludin

Jajang Jamaludin

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus