Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA prosedur evakuasi dijalankan dengan ketat dan rasional, bukan mustahil jumlah korban jiwa letusan Gunung Merapi, Selasa pekan lalu, bisa ditekan ke tingkat paling rendah. Dibandingkan dengan gempa dan tsunami Mentawai, yang bisa dikatakan unpredictable, bencana Merapi terpaparkan sejak jauh hari, terembaran dengan jernih, dan dilaporkan terus-menerus.
Patut dipuji keawasan dan ketaatan para petugas Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Badan Geologi, serta lima pos pemantauan Merapi yang tersebar di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Begitu pula para petugas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, yang secara sistematis menyebarkan data dan analisis mereka kepada publik, sehingga-sekali lagi-sebetulnya banyak langkah positif bisa diambil untuk mengantisipasi bencana.
Kadang kita lupa, bencana alam adalah sesungguh-sungguhnya bahaya. Langkah pertama yang harus diambil dalam menghadapi kekuatan yang sulit ditakar ini adalah menghindar-bukan "menantang". Sejak status Merapi ditingkatkan dari waspada ke siaga, lima hari sebelum letusan, masyarakat mestinya tidak lagi "berpolemik" tentang perlu-tidaknya evakuasi. Pemerintah Jawa Tengah dan Yogyakarta sudah membangun barak-barak pengungsian, dan penduduk di sekitar lereng Merapi seyogianya tidak memandang langkah itu sebagai "latihan".
Empat hari sebelum letusan, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta sudah mengingatkan, erupsi Merapi kali ini tidak saja jauh lebih besar dibandingkan dengan letusan 14 Juni 2006, tapi juga eksplosif dan "mendadak". Peringatan ini tak cukup serius ditanggapi. Sehari sebelum letusan, status Merapi ditingkatkan menjadi awas. Sejak saat itu, masih tersisa waktu 35 jam untuk menyelamatkan penduduk yang bertahan di dusun-dusun yang statusnya sudah sangat terancam.
Bagi sebagian penduduk, terutama yang berdiam di sekitar lerengnya, Merapi memang bukan sekadar panorama. Ada kepercayaan tentang garis khayali yang mempertautkan "Keraton Merapi" dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan "Keraton Kanjeng Ratu Kidul" di Laut Selatan, sebagai bagian dari kosmologi Jawa yang niscaya. Dari perspektif ini, erupsi Merapi sering disiasati sebagai sekadar "isyarat" alam kepada manusia-dan dengan sendirinya belum tentu berbahaya. Di dalam perspektif inilah bersetumpu Mas Penewu Surakso Hargo alias Mbah Maridjan sang kuncen.
Akhirnya, bala itu tak terelakkan. Dengan kecepatan seratus kilometer per jam, wedhus gembel dengan suhu di atas enam ratus derajat Celsius itu hanya memerlukan waktu kurang dari dua menit untuk mencapai rumah Mbah Maridjan di Dusun Kinahrejo, Cangkringan. Sebagian besar korban tewas-dari seluruhnya 35 orang-ditemukan di sekitar perumahan itu, termasuk si Mbah dan jurnalis Yuniawan Wahyu Nugroho. Inilah angka korban Merapi terbesar sejak letusan pada 1994-yang merenggut 69 jiwa.
Dengan belasungkawa sedalam-dalamnya terhadap korban, hendaklah penanganan bencana alam di hari-hari mendatang dilakukan lebih ketat dan mengandalkan akal sehat. Dalam kasus Merapi, misalnya, setelah status awas, pemerintah berhak melakukan evakuasi paksa, demi melindungi hak hidup warga negara. Pada tahap sangat kritis itu, "pendekatan persuasif" tak lagi efektif. Karena Indonesia terletak di sekitar "cincin api" angkara alam yang rawan bencana, lebih baik standar penyelamatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dijalankan secara tegas. Jika tidak, bisa jadi kita akan terus-menerus mengalami abai membawa sangsai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo