Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ani Soetjipto
Dosen Program Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mendadak melontarkan rencana mengganti nomenklatur kementeriannya menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga. Wacana pergantian nama ini sungguh membahayakan dan merisaukan karena sama saja dengan membuat langkah mundur dalam mendomestifikasi dan menempatkan perempuan sebagai obyek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mari kembali pada dasar pembentukan kementerian tersebut. Kelahirannya tidak bisa dilepaskan dari mandat perjuangan perempuan di tingkat global dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) oleh Indonesia, 35 tahun lalu. Sejak didirikan pada 1978, kementerian ini sudah empat kali berganti nama, dari Kementerian Urusan Peranan Wanita, Kementerian Peningkatan Peranan Wanita, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, hingga kini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).
Kita memang melihat sejumlah kemajuan pada kinerja KPPA, seperti kebijakan peningkatan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan, kebijakan pengarusutamaan gender, penguatan dan anggaran yang responsif gender, hingga mendekatkan akses perempuan pedesaan dalam program-program pembangunan. Namun kita juga melihat tantangan berat pemberdayaan perempuan Indonesia yang belum direspons optimal oleh KPPA. Setelah 20 tahun reformasi, masih ada rapor relatif merah untuk angka perkawinan anak, angka kematian ibu, stunting, kelaparan, ruang hidup yang tergusur, juga masalah perempuan petani dan buruh migran perempuan.
Lebih merisaukan lagi, kita menghadapi konservatisme agama. Nilai konservatisme agama celakanya banyak dibenturkan dengan nilai kesetaraan dan keadilan gender. Pengaruh konservatisme dan fundamentalisme meluas ke semua kalangan, termasuk ke berbagai institusi pemerintahan, pendidikan, pelayanan publik, hingga ke pertahanan negara.
Masalah ini sungguh serius. Pemikiran konservatisme agama dan fundamentalisme menggugat kesetaraan dan keadilan gender, hal yang ada dan diperjuangkan sejak republik ini berdiri. Perempuan Indonesia sudah berjuang di ruang publik jauh sebelum negara ini hadir. Perjuangan itu terus berlanjut dan tak pernah surut hingga saat ini.
Komite CEDAW PBB pada 2012 memberikan catatan kritis tentang menguatnya konservatisme di Indonesia. Catatan ini menyoroti bukti empiris tak terbantahkan, yakni adanya peraturan daerah syariah yang mendiskriminasi perempuan di Aceh. Hingga hari ini, situasi menguatnya konservatisme makin mengkhawatirkan dengan adanya segregasi sosial setelah pemilihan presiden 2019.
Diskursus mengubah nama KPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga, dalam konteks menguatnya konservatisme, sungguh membahayakan. Pergantian nama ini merupakan bagian dari agenda kembali mendomestifikasi perempuan Indonesia. Kita sungguh tidak bisa menerima dan perlu menolak gagasan tersebut, yang mengecilkan kembali peran perempuan hanya pada lingkup privat dan domestik, urusan anak dan rumah tangga.
Kita tentu setuju dengan pentingnya ketahanan keluarga, tapi pemaknaan ketahanan keluarga yang benar adalah menjadikan perempuan sebagai subyek, bukan obyek. Ketika gagasan tentang ketahanan keluarga dimaknai perempuan harus diatur pakaiannya, perkawinan anak dibiarkan, atau poligami dianggap biasa, hal ini sama saja dengan langkah mundur.
Ketahanan keluarga dalam diskursus yang berkembang belakangan ini konsepnya sangat berbeda dengan ketahanan keluarga dalam konsepsi yang memberdayakan. Ketahanan keluarga yang diusung KPPA sarat penundukan perempuan sebagai obyek, yang dibebani tanggung jawab domestik dengan serangkaian norma konservatif yang menghambat kemajuan perempuan. Kita lihat belakangan ini ramai kampanye menikah di usia muda, Indonesia tanpa pacaran, menolak keluarga berencana, patuh dan mendukung poligami, serta kampanye menolak agenda penting rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Makna ketahanan keluarga yang benar adalah memastikan perempuan dan laki-laki berpeluang setara mendapatkan perlindungan sebagai dua subyek dalam institusi keluarga. Mereka setara dalam mendapatkan perlindungan kesehatan, perlindungan dari kekerasan, akses makanan bergizi, jam istirahat yang layak dan akses bekerja, serta mengaktualisasi diri di ruang publik. Juga setara dalam pengambilan keputusan atas kegiatan reproduksi hingga perawatan anak.
Konsep ketahanan keluarga seperti definisi tersebut tentu penting sebagai program kerja kementerian, tapi terlalu sempit untuk dijadikan portofolio sebuah kementerian. Nama Kementerian Ketahanan Keluarga akan berimbas pada alokasi kerja dan anggaran program yang hanya terbatas pada urusan ketahanan keluarga. Padahal isu perempuan di Indonesia begitu kompleks dan melampaui urusan domestik semata.
Mengubah nama KPPA menjadi Kementerian Ketahanan Keluarga adalah sesuatu yang salah langkah dan sesat pikir. Pemerintah justru akan menghambat partisipasi publik perempuan Indonesia yang sudah melangkah sangat cepat dan panjang.