Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM bank memasang iming-iming bunga deposito tinggi datang lagi. Kalau tren ini berlangsung lama, pertumbuhan ekonomi bisa melambat. Dengan bunga deposito di atas 11 persen—hampir dua kali lebih besar dibanding tiga bulan lalu—pastilah pemilik uang lebih suka ”beternak” bunga bank ketimbang berinvestasi di dunia usaha yang mengandung risiko. Ancaman terhadap pertumbuhan lebih serius karena yang ikut jorjoran bukan hanya bank-bank kecil, melainkan juga yang kelas kakap.
Ternyata yang menyedot dana masyarakat bukan hanya bank. Bank Indonesia belakangan ini ikut sibuk menarik dana masyarakat untuk mengerem laju inflasi yang masih di atas target, dengan menaikkan suku bunga. Bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) kini sudah bertengger di angka 9,25 persen, padahal April lalu masih delapan persen. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia untuk jangka satu bulan juga sudah 9,28 persen, jauh di atas posisi akhir April yang masih 7,99 persen.
Dana masyarakat dikhawatirkan ”kering” karena pada saat yang sama pemerintah juga sedang getol menjual surat utang negara untuk menutup defisit anggaran. Tahun ini defisit mencapai Rp 94,5 triliun, tahun depan bahkan diperkirakan menembus Rp 100 triliun. Untuk menambalnya, pemerintah mengandalkan surat utang negara, karena utang luar negeri ”diharamkan”.
Akibat bank sentral dan pemerintah sama-sama berebut dana masyarakat, perbankan pun kini kesulitan menjaring deposan. Cara bersaing yang paling mudah adalah menaikkan suku bunga simpanan, meskipun cara ini menabrak rambu-rambu suku bunga pinjaman. Saat ini Lembaga Penjamin Simpanan hanya menjamin deposito dengan bunga maksimal 8,75 persen.
Memang langkah Bank Indonesia bisa sedikit menjinakkan inflasi. Agustus lalu, inflasi hanya setengah persen, sementara pengamat meramalkan inflasi menembus satu persen. Tapi rebutan dana masyarakat ini jelas tidak sehat. Dampak yang pasti segera datang adalah meningkatnya suku bunga kredit. Dunia usaha bakal kelimpungan setelah dihantam kenaikan harga energi.
Pemerintah mesti waspada. Meskipun pertumbuhan ekonomi pada semester pertama tahun ini 6,4 persen—di atas ekspektasi banyak pihak—kondisi itu bukan tanpa catatan. Tingginya bunga kredit jelas merupakan sinyal bahwa pertumbuhan paruh kedua tahun ini tidak akan sepesat paruh pertama. Setidaknya kemampuan swasta sebagai salah satu motor penting pertumbuhan ditaksir akan menurun.
Danareksa, misalnya, mencatat pertumbuhan sektor manufaktur cuma 4,1 persen. Sektor pertambangan, minyak, dan gas malah negatif. Kalangan industri semen memperkirakan permintaan akan melambat dibanding semester lalu, yang mencapai 19 persen. Belum lagi bila diingat permintaan dunia cenderung menurun, sehingga bisa menekan ekspor Indonesia. Beberapa indikasi itu mengharuskan pemerintah berbuat sesuatu untuk menutup tekor di sektor swasta ini.
Pemerintah mesti lebih banyak mengucurkan dana untuk menggiatkan dunia usaha. Hal ini dimungkinkan karena tekanan terhadap anggaran dari harga minyak dunia agak kendur. Harga minyak sudah US$ 106 per barel. Bukan itu saja. Dana pemerintah di Bank Indonesia masih Rp 170 triliun akibat rendahnya realisasi anggaran paruh pertama tahun ini. Pemerintah daerah pun masih menyimpan duitnya di Bank Indonesia sekitar Rp 32 triliun.
Kalau saja semua dana yang ”parkir” itu dikerahkan untuk menggerakkan perekonomian, perlambatan ekonomi barangkali bisa dicegah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo