Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tanah Air

Rusia menginvasi Ukraina sejak Februari 2022. Mungkin negara ini akan hancur, terbakar, tapi tak akan mati-mati.

 

12 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perjuangan rakyat Ukraina membendung serangan Rusia mengingatkan kita pada Jan Palach.

  • Pemuda Cekoslovakia ini membakar diri untuk mengingatkan banyak orang akan bahaya negeri komunis.

  • Apinya membakar dan membesar membawa panji-panji demokrasi.

Untuk perempuan-perempuan yang merakit granat Molotov di Dnipro, Ukraina.

APA arti sebuah tanahair?

Di senja musim panas yang tenang akan lebih mudah menjawab pertanyaan ini. Tapi tidak di Cekoslowakia tanggal 21 Agustus 1968 itu.

Hari itu, 2000 tank menderu menerobos perbatasan. Bersama itu, 250.000 tentara dan 800 pesawat terbang. Gerakan besar-besaran pasukan Pakta Warsawa yang dikirim dari Uni Soviet, Bulgaria, Polandia, dan Hungaria itu segera menduduki Praha. Ibukota yang diperindah gedung dan arca abad ke-16 itu tak menyiapkan senjata buat melawan.

Tapi rakyat melawan.

Hampir di seluruh wilayah orang turun ke jalan, membawa bendera Cekoslowakia, memprotes, memekik, melempar batu, atau, yang lebih cerdik, memindahkan tanda-tanda jalan agar pasukan invasi tersesat. Ketika satu kompi pasukan pendudukan hendak mengambil alih gedung Radio Praha, para wartawannya menolak membuka pintu. Tembakan dilepaskan; 20 orang tewas. Sejak itu radio itu tak bisa lagi menyiarkan berita perlawanan dan mengumandangkan cita-cita pembebasan Cekoslowakia dari kekuasaan Partai Komunis yang didikte Moskow.

“Operasi Danube” itu—pengerahan pasukan besar-besaran untuk mencegah Cekoslowakia membangkang Pakta Warsawa—menewaskan 137 warga sipil yang tak menyandang bedil.

Gerakan pro-demokrasi yang terkenal sebagai “Musim Semi Praha” pun berhasil distop. Pemerintahan baru di Praha yang ditegakkan Kremlin segera membasmi tiap gerak pembebasan dengan slogan “normalisasi”. Sebagian penduduk menyerah, tunduk, atau melarikan diri ke luar negeri, meskipun seluruh Cekoslowakia jadi seunggun sekam di mana api bersembunyi. Kita kemudian tahu, di akhir 1989, “Revolusi Beledu”, menang, tanpa senjata dan Praha dan seluruh negeri bebas.

Tapi 20 tahun sebelum itu, 16 Januari 1969, seorang mahasiswa fakultas filsafat Universitas Karl, Jan Palach, dengan wajahnya yang makin pucat di bawah rambutnya yang hitam, berjalan ke ujung Lapangan Wenceslas. Di sana ia menyiram tubuhnya dengan bensin. Dengan menyulut api, ia jadikan dirinya “obor”. 85% tubuhnya hangus, dengan paru-paru rusak. Beberapa jam kemudian, menjelang umurnya yang ke-21, ia mati di rumah sakit.

Di ranjang si pasien sebelum ajal, Psikiater Zdenka Kmuníčková berhasil merekam dan merapikan percakapan dengan anak muda itu.

ZK: Jan, kenapa kau lakukan itu?

JP: Aku ingin membangunkan orang banyak.

"Obor" itu bersinar terang. Jenazah Palach dimakamkan di bawah hujan tajam musim dingin. Ribuan orang menyaksikan prosesinya, menitikkan air mata bersama ibu si mati, atau mengucapkan kata “Rusia” dengan gigi dirapatkan oleh dendam. Mereka mengantar Jan ke keabadian. Seperti kena sihir, penguasa gagu.

Kini di jalan dekat Lapangan Wenceslas ada sepetak aspal kecil di mana sekian puluh tahun yang lalu Palach menyulut bensin di tubuhnya. Tempat itu tak mencolok, tapi orang, termasuk saya tiap kali mengunjungi Praha, akan membeli bunga dan menaruhnya di situ—lalu duduk di sebuah hobsoda dengan segelas pilsner. Tiap kali ingatan tentang Palach menyentuh, pertanyaan ini tak bisa dicegah: Apa arti sebuah tanah air?

Apa? Tak jelas—meskipun kata “arti” membuat “tanah air” tak lagi hanya terselip di biodata di meja kerja; ia merekat rapat ke tubuh dan kesadaran.

Dalam novel l’Ignorance yang ditulis dalam bahasa Prancis dan terbit di tahun 2000, Milan Kundera, sastrawan Cekoslowakia terkemuka yang melarikan diri ke Paris setelah serbuan 21 Agustus 1968, berkisah tentang Irena dan Josef. Kedua orang ini termasuk mereka yang meninggalkan tanah air. Mereka kembali 20 tahun kemudian.

Di negeri kelahiran, mereka merasa asing, kikuk. Tapi ada tali yang samar seperti cinta yang intens (dan sebab itu tak terucapkan). Dalam satu adegan Josef mengendarai mobil menuju Praha. Ia merasakan lanskap di sekitarnya bergerak—“lanskap negerinya yang kecil, yang rakyatnya bersedia mati untuknya”.

Kenangan masa lalu jadi bermakna saat itu: dua kursi malas yang berhadap-hadapan, lampu dan vas kembang di bendul jendela, pohon sapin lencir yang dulu ditanam isterinya di depan rumah.

Bagi Josef, arti sebuah tanah air, sebuah bangsa, dan kesediaan mengorbankan diri untuk keduanya, agaknya tak bisa diungkapkan dengan bahasa yang mengagungkan dan melanggengkannya.

Imajinasi keabadian bukan satu-satunya yang menggugah. Dalam l’Ignorance Milan Kundera menyebut kesediaan mati bagi tanah air—bagian dari narasi keabadian—ada di mana-mana. “Tiap bangsa pernah mengenal godaan untuk berkorban”, tulisnya. Tapi jika bangsa ukuran besar seperti Jerman dan Rusia dibuai kemegahan mereka, pentingnya posisi mereka, dan misi unversal mereka, bangsa seperti Cekh lain: mereka mencintai negeri mereka karena kecil dan terus menerus dalam bahaya. Patriotisme mereka sebuah compassion.

Saya ragu. Perspektif Milan Kundera rasanya terbatas. Sejarah merekam orang membela sampai titik darah penghabisan tanah air mereka bukan karena ukuran geografis atau masa lalunya. Tanah air punya arti, dan dipertahankan, tatkala ada kekuatan yang ingin menghapus arti itu. Bahkan bisa dikatakan bangsa ada, ber-arti, men-jadi, justru ketika terancam ditiadakan.

Leningrad, selama hampir 900 hari sampai Januari 1944, dikepung dan digempur Nazi Jerman. Sekitar sejuta prajurit dan penduduk tewas. Uni Soviet bertahan, melawan, dan lahir kembali.

Surabaya, 10 November 1945: pemuda-pemuda bertempur habis-habisan menolak ultimatum pasukan Sekutu, dan bersama itu merah putih berkibar.

Ukraina, sejak Pebruari 2022, mungkin akan hancur, terbakar, tapi akan tak mati-mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

____

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perbaikan 15 Maret 2022 pukul 13.48 WIB pada judul buku Milan Kundera.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus