Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan, kasus Munir adalah sebuah pertaruhan. Dengan kata lain, berhasil-tidaknya aparat kepolisian membongkar tuntas perkara ini sekaligus akan merupakan tolok ukur kesungguhan pemerintah SBY menangani kasus pelanggaran berat hak asasi manusia. Kegagalan mengungkap kasus pembunuhan Munir, dengan demikian, akan mencorengkan arang ke wajah para pemimpin Republik ini.
Hari-hari ini, tampaknya, "pertaruhan" itu sedang memasuki babak paling menentukan. Kepolisian, yang selama ini terkesan lembam dan lelet, seolah-olah sedang bergerak dalam jurus "meniti buih menepuk gelombang": tenang di permukaan tapi trengginas di arus dalam. Paling tidak dua tersangka baru sudah ditangkap, perkiraan tempat kejadian perkara mengalami perubahan yang menjanji-kan, bahkan ada beberapa tokoh kunci yang tampaknya masih "dipendam" polisi.
Tatkala Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang "kocak" itu, melenggang bebas dari bui berkat vonis Mahkamah Agung yang hanya menghukumnya dua tahun penjara karena menggunakan surat palsu, kasus pembunuhan Munir bagaikan membentur tembok. Karena penyelidikan hanya mengajukan satu tersangka, yakni sang Polly, begitu Polly bebas, tak satu pun tersangka tersisa. Ia pun tak bisa diutak-atik lagi demi asas ne bis in idem.
Tapi, bak kata peribahasa, matahari tak bisa ditutup dengan sebelah tangan. Sejak awal sudah tercium, pembunuhan atas Munir Said Thalib, pejuang hak asasi manusia yang tak pernah gentar itu, bukanlah pembunuhan biasa. Ada kuasa kegelapan di situ, ada persekongkolan busuk yang tak pernah bercita-cita melihat negeri ini damai dan bermartabat. Ada patgulipat di antara para pengecut yang selalu "terpanggil" menyelesaikan urusan dengan kekerasan.
Karena pembunuhan Munir bukan pembunuhan biasa, pengusutan kasus ini juga sempat menempuh jalan berliku dan berkabut-atau lebih tepat dikatakan "dibuat berliku dan berkabut". Ada beberapa mata rantai yang seolah-olah dibiarkan "hilang", sehingga pada akhirnya yang duduk di kursi terdakwa hanyalah Pollycarpus seorang. Bahkan dakwaan yang diajukan setengah "mempahlawankan" Polly, dengan menyebutnya sebagai "orang yang gigih berjuang untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Kini, dengan penemuan bukti baru dan tersangka baru, tak salah jika kita mengharapkan benang kusut pembunuhan Munir bisa diungkai tuntas dan tandas. Jaksa Agung bahkan telah menyatakan, dengan bukti baru yang meyakinkan, peninjauan kembali perkara ini merupakan suatu keniscayaan. Artinya, Pollycarpus Budihari Priyanto akan kembali duduk di kursi terdakwa, tapi kali ini besar kemungkinan tidak sendirian.
Mata rantai yang hilang pada proses pengusutan terdahulu seyogianya bisa dironce ulang, sehingga semua perkara terang-benderang di depan hukum dan kebenaran. Dari pengusutan terdahulu, misalnya, ada fakta kunci yang seolah-olah sengaja diabaikan: 41 kali kontak telepon antara Polly dan telepon seluler yang diketahui milik Muchdi Purwoprandjono, mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN). Muchdi memang mengatakan telepon selulernya bisa dipakai siapa saja. Kalau begitu tinggal mencari tahu: siapa saja yang dengan lancang berani menggunakan telepon seluler petinggi BIN itu.
Jaksa Agung sendiri telah menyatakan, bukti-bukti yang diajukan kepolisian sangat kuat. Munir dibunuh oleh sebuah operasi yang disiapkan sejak jauh hari. Munir dijadikan target, karena ia dianggap faktor gangguan bagi sebagian kelompok. Dan "sebagian kelompok" ini, kebetulan atau tidak, merupakan bagian yang melekat dari sebuah rezim yang pernah sangat berkuasa dan menumbuhkan "peradaban penumpasan" yang menghalalkan semua cara.
Sudah sejak awal, sebetulnya, "jejak" BIN tercium di sepanjang perjalanan penyidikan kasus ini. Tim pencari fakta yang dibentuk Presiden Yudhoyono pada 2004, misalnya, sempat mengungkapkan surat izin kepemilikan senjata api yang dipegang Pollycarpus, yang ternyata dikeluarkan BIN. Tetapi sekretaris utama BIN ketika itu, yang diduga menandatangani surat izin tersebut, tegas membantah, bahkan menyatakan tidak mengenal Polly. Nurhadi, sang sekretaris utama, kemudian segera diberi tugas sebagai diplomat ke luar negeri.
Kali ini tampaknya para petugas hukum tiba pada titik pantang surut. Tidak ada lagi langkah mundur dalam mengusut perselingkuhan busuk yang menjijikkan ini. Semua tersangka harus diseret ke depan hukum. Bukan saja mereka yang meracun Munir, secara langsung atau tidak langsung, melainkan semua orang dan semua pihak yang selama ini berusaha menutupi kebenaran dan membelokkan arah pengusutan. Satu langkah mundur saja akan sama memalukannya dengan persekongkolan gelap yang secara pengecut menghabisi Munir. Hanya dengan cara ini kita bisa memenangi "pertaruhan"-seperti yang dinyatakan Presiden Yudhoyono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo