Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mendatangkan rektor dari luar negeri untuk memimpin perguruan tinggi negeri badan hukum mulai 2020 tidak perlu ditakuti dan sepatutnya didukung. Tidak tepat mengaitkan perekrutan rektor asing tersebut dengan terancamnya nilai-nilai budaya atau nasionalisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kualitas mayoritas perguruan tinggi di Tanah Air yang belum membanggakan bisa menjadi alasan kenapa Indonesia membutuhkan rektor asing. Hingga saat ini, hanya ada tiga perguruan tinggi yang masuk daftar 500 top universitas dunia versi Quacquarelli Symonds World University Rankings 2019/2020. Universitas Indonesia bertengger di peringkat ke-296, Universitas Gadjah Mada di urutan ke-320, dan Institut Teknologi Bandung berada di posisi ke-331.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daya saing kampus-kampus di Indonesia itu pun tertinggal jauh dari perguruan tinggi negara tetangga dekat, seperti Malaysia dan Singapura. University of Malaya, Malaysia, berada di peringkat ke-87 dunia. Sedangkan dua perguruan tinggi Singapura, yaitu National University of Singapore dan Nanyang Technological University, bertengger di peringkat ke-11 dan ke-12 dunia tahun ini. Keberhasilan National University di bawah rektor asing asal Swedia, Bertil Andersson, menjadi referensi Menteri Nasir untuk merekrut rektor asing.
Ada banyak hal yang harus dibenahi dalam pendidikan tinggi kita. Salah satunya dapat dimulai dari pemilihan rektor. Selama ini, syarat calon rektor sangat minimal, yakni cukup pernah menjadi ketua jurusan. Tidak ada keharusan calon rektor memiliki jaringan yang kuat dengan komunitas peneliti di luar negeri. Selain itu, kebanyakan kampus perguruan tinggi negeri menjaring calon hanya dari kalangan internal, baik itu akademikus maupun guru besarnya.
Dengan masuknya kandidat rektor asing, persyaratan calon rektor dapat dinaikkan dan lingkup penjaringan pun lebih luas karena akan dibuka penawaran global. Setidaknya, ada tiga syarat utama calon rektor asing tersebut, yakni memiliki jejaring dengan komunitas peneliti luar negeri, berpengalaman mengelola perguruan tinggi, dan mempunyai inovasi untuk meningkatkan mutu riset. Penelitian bakal menjadi fokus perhatian sang rektor terpilih karena kesuksesan suatu universitas ditentukan oleh kemauan untuk berorientasi keluar dan kompetitif.
Perekrutan rektor asing juga menjadi momen yang tepat untuk membenahi mekanisme pemilihan rektor yang selama ini membuka peluang praktik politik transaksional. Dalam pemilihan rektor, menteri, selaku wakil pemerintah, memiliki hak suara 35 persen. Hak itulah yang digunakan oleh makelar dengan memperdagangkan ke calon-calon rektor seperti yang terjadi di sejumlah universitas.
Guna merealisasi masuknya rektor asing, Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi harus diubah. Demikian juga statuta masing-masing perguruan tinggi negeri badan hukum yang menyatakan syarat utama rektor adalah warga negara Indonesia. Selain itu, aturan tentang keuangan negara mesti direvisi karena rektor sebagai pemegang kuasa anggaran tidak boleh dijabat oleh orang asing.