Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis Mahkamah Agung yang menghukum enam operator telepon seluler menjadi angin segar bagi upaya melindungi konsumen. Selama bertahun-tahun, upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyeret pebisnis nakal selalu kandas di pengadilan. Kemenangan itu bukan saja kemenangan KPPU, tapi juga kemenangan konsumen.
Majelis kasasi Mahkamah Agung, Senin lalu, menjatuhkan sanksi denda Rp 77 miliar kepada enam operator seluler karena terbukti melakukan kartel dalam penetapan tarif SMS pada periode 2004-2007. Vonis ini menguatkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 2008, yang sempat dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sanksi itu sejatinya sangatlah ringan. Seharusnya Mahkamah menghukum lebih berat, mengingat kerugian yang ditanggung konsumen cukup besar. Menurut hitungan KPPU, kerugian konsumen akibat praktek kartel SMS mencapai Rp 2,87 triliun. Selain itu, denda tersebut cuma seujung kuku bila dibandingkan dengan pendapatan operator seluler.
Aroma adanya "persekutuan" gelap mengatur harga SMS sangat terasa ketika KPPU memulai penyelidikan perkara ini. Indikasi terjadinya pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terlihat dari tarif SMS yang tak bergerak di angka Rp 250-350 sejak 2001. Padahal, menurut perhitungan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, tarif pesan pendek seharusnya bisa lebih murah. Apalagi, sejak 1 Januari 2007, penghitungan tarif berbasis biaya produksi. Jika mengikuti pola ini, seharusnya tak ada alasan tarif dipatok tinggi. Dari kalkulasi Badan Regulasi, biaya produksi SMS semestinya paling banter hanya Rp 76. Uang itu dibagi dua untuk operator asal dan operator penerima. Bukti adanya kartel itu semakin kuat ketika KPPU menemukan adanya perjanjian tertulis di antara mereka.
Persekongkolan lancung itu tak boleh terus dibiarkan. Bertahun-tahun, para pengguna telepon seluler membayar mahal tarif SMS, bahkan bila dibandingkan dengan di negara maju. Padahal pemakai telepon seluler bukan hanya para bos di gedung-gedung tinggi, tapi juga kuli bangunan dan tukang bakso.
Perlindungan konsumen memang merupakan barang langka di negeri ini. Sering digaungkan, bahkan diatur dalam undang-undang, tapi prakteknya nihil besar. Konsumen kita nyaris tak punya kekuatan.
Vonis bersalah dari Mahkamah ini bisa menjadi amunisi bagi konsumen untuk meminta kembali hak mereka yang pernah dirampas oleh operator seluler. Vonis MA ini bisa dijadikan bukti untuk melayangkan gugatan class action di pengadilan negeri. Gugatan itu sekaligus juga memberikan efek jera bagi para pengusaha yang bandel.
Sebagai lembaga yang diberi mandat melakukan pengawasan, KPPU semestinya lebih gencar lagi membongkar praktek busuk dalam kegiatan dunia usaha. Jika penyakit-penyakit ekonomi, seperti monopoli, kartel, dan persaingan usaha yang tidak sehat, dibiarkan merajalela, ekonomi menjadi tak efisien dan sulit bersaing dengan asing. Akhirnya yang rugi bukan cuma konsumen sektor usaha tertentu, tapi juga seluruh negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini