Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Selamat Datang Presiden Terpilih

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARA resmi, pemenang pemilu presiden putaran final baru akan diumumkan pada 5 Oktober, setelah Komisi Pemilihan Umum selesai melakukan penghitungan manual. Tetapi secara publik, atau katakanlah secara "sosiologis", peraih suara terbesar sudah terdeteksi lewat quick count—penghitungan cepat terhadap sampel yang cukup representatif—pada Selasa siang. Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla unggul dengan 61 persen terhadap Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, yang diproyeksikan mendapat 39 persen suara.

Quick count, tanpa kita sadari, sudah masuk ke dalam kosakata kesadaran politik publik, paling tidak sejak pemilu legislatif 5 April lalu. Hasilnya pun tak bisa dibilang ngawur. Pada pemilu legislatif dan pemilu presiden putaran pertama, misalnya, hasil quick count rata-rata hanya berbeda sekitar dua persen dari hasil penghitungan resmi. Meski tetap menjadi bahan perdebatan yang sah-sah belaka, dalam kenyataannya tak kurang dari Presiden Megawati, ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan perolehan suaranya, Senin kemarin mengatakan, "Kita lihat saja quick count-nya."

Karena itu, tidaklah berlebihan jika sejak Selasa kemarin pasangan SBY-Kalla sudah memperoleh "keabsahan sosiologis" sebagai peraih suara terbesar. Dari sudut pandang ini, dikotomi "kalah-menang" bukanlah sesuatu yang sangat relevan bagi memandang Indonesia ke depan. Memilih dengan hati nurani, seperti dikumandangkan semua pasangan dalam kontes politik nasional ini, seyogianyalah kini bergeser menjadi menerima realitas bukan saja dengan hati nurani, melainkan juga dengan akal sehat dan pikiran terbuka.

Megawati sudah bertindak sahda ketika, sehari sebelum pemilihan, menyatakan siapa pun yang akan dipilih dan dipercaya rakyat menjadi presiden dan wakil presiden adalah pemimpin bangsa yang sah dan karena itu harus didukung oleh seluruh bangsa dengan ikhlas. Rakyat, yang direpresentasikan oleh mereka yang melaksanakan hak pilihnya, telah menunaikan tugas politik dan tugas demokratisnya yang sangat monumental, yakni memilih langsung presiden baru bagi republik yang sudah berusia 59 tahun ini.

Adalah tugas dan tanggung jawab presiden dan wakil presiden terpilih mengemban kepercayaan rakyat yang luar biasa itu. Banyak sekali harapan yang dipertaruhkan ke pundak presiden dan wakil presiden terpilih. Orang bicara tentang apa yang harus dilakukan pasangan terpilih dalam seratus hari pertama kekuasaan mereka. Namun, sebelum mereka secara resmi berkuasa—pelantikan direncanakan 20 Oktober nanti—ada masa peralihan antara hari ini dan saat kekuasaan diserah-terimakan dari presiden lama kepada yang baru.

Bagaimana sebaiknya menyikapi "masa peralihan" itu? Pemilihan umum presiden baru pertama kali dilakukan di sini. Belum ada pegangan, apalagi aturan, mengenai bagaimana presiden lama dan presiden terpilih harus bersikap dalam masa peralihan. Tenggang waktu hingga 20 Oktober tak bisa dibilang sebentar. Kemudi pemerintahan baru diserahkan pada hari pelantikan presiden baru. Sementara itu, kebijakan pemerintah tetap harus dibuat. Apakah patut presiden lama membuat kebijakan baru, misalnya, sedangkan umur kekuasaannya sudah amat terbatas, dan pengaruh kebijakan itu akan ditanggung oleh presiden yang menggantikan?

Tidak ada larangan tertulis bagi presiden lama untuk berbuat demikian. Tidak ada aturan tentang "presiden demisioner". Sebaliknya, tak ada pula aturan yang memberi hak kepada presiden terpilih untuk ikut menentukan kebijakan apa pun sebelum ia dilantik. Jika masalahnya bukan "boleh atau tidak", pertanyaannya ialah "patut atau tidak". Semuanya demi kelancaran dan kelangsungan jalan pemerintahan. Kalau kepatutan tidak bisa ditemukan dalam peraturan, semestinya bisa ditilik pada kebiasaan yang ada. Nah, kebiasaan itu juga tak ada, karena kita justru memasuki pengalaman baru.

Jawaban paling masuk akal kiranya adalah kepercayaan terhadap itikad baik. Artinya, kita percaya presiden yang akan digantikan tidak akan membuat sulit presiden terpilih dengan, misalnya, membuat kebijakan baru yang menjebak atau menjebloskan. Memang bisa saja presiden terpilih segera mengubah kembali kebijakan yang tak disetujuinya. Namun, suasana ini pastilah menjadi tontonan yang tidak mendidik bagi seluruh rakyat yang telah memberi andil terbesar dalam penyelenggaraan pemilu yang berkualitas, yang baru saja kita sukseskan.

Bagaimana sebaiknya menjaga kelancaran dan kelangsungan kebijakan pemerintah selama masa peralihan kekuasaan itu? Akan sangat terpuji jika kedua presiden, yang akan pergi dan yang akan datang, berhubungan secara terbuka dan membicarakan segala sesuatu tentang masalah pemerintahan yang tengah berlangsung. Komunikasi seperti ini mengandung prasyarat: keduanya mengakui kedudukan masing-masing sebagai yang akan meninggalkan kursinya dan yang akan menduduki posisi berkuasa. Mulai kapan itu harus dilakukan? Sebaiknya mulai sekarang. Jika ini terjadi, kita yakin kedua presiden akan dikenang oleh sejarah sebagai monumen menuju Indonesia Baru yang menatap ke depan dengan hati lapang dan penuh pengharapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus