Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELAH banyak hal menyedihkan yang kita alami ketika buku-buku sejarah dan pengetahuan diberangus pada masa lampau. Tapi ingatan kita terlampau pendek untuk belajar dari kesalahan di masa lalu itu. Pejabat Kejaksaan Negeri Makassar, Bogor, Cibadak, Subang, dan Depok membakar belasan ribu eksemplar buku pelajaran sejarah Indonesia di halaman kantor mereka belum lama ini. Di Semarang, buku-buku itu dirajang. Pesan yang bisa ditangkap: perbedaan pendapat adalah bahaya yang perlu dihancurkan sampai jadi abu.
Di zaman Orde Lama, Partai Komunis Indonesia membakar buku-buku yang tak selaras dengan ideologinya. Orde Baru meniru perilaku serupa. Semua produk pemikiran yang berbau komunisme dilarang keras, disita, dan dihancurkan. Aturan ini berlaku di seluruh negeri. Para cendekiawan yang mengoleksi pemikiran Marxisme, misalnya, harus pandai-pandai menyelamatkan koleksi ”gelap” mereka.
Informasi jauh lebih mudah kita peroleh setelah masa reformasi. Buku-buku yang dulu dicap ”ilegal” dipajang dengan bebas merdeka di berbagai toko buku. Tapi bakar-membakar ternyata jalan terus. Padahal ada jalan keluar yang mudah: jangan dipakai bila buku itu dianggap tak akurat—bahkan sesat sekalipun. Bikin saja revisi buku yang dipertanggungjawabkan secara terbuka. Tidak puas juga, gunakan buku lain.
Pembakaran adalah suatu tindakan ”sensor total” yang harus kita tentang sedapat-dapatnya. Perbuatan itu hanya mengajarkan ketakutan dan kepicikan dalam menghadapi keragaman pemikiran. Padahal ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pemikiran dapat tumbuh dan berkembang melalui aneka perbedaan, bahkan kesalahan.
Hal yang juga menyedihkan adalah pemusnahan buku-buku itu dilakukan secara resmi dan terbuka. Di Depok, misalnya, Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar melakukan pembakaran simbolis ditemani Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda.
Para pengkritik menyebut tindakan itu sebagai contoh sikap totaliter: berangus jika berbeda. Ada sejumlah ceruk yang ”masih abu-abu” dalam sejarah negeri ini dan kita memerlukan pencerahan menuju kebenaran fakta. Tapi hal itu hanya bisa dicapai bila ada diskusi, ada kaji ulang yang terus-menerus terhadap berbagai versi sejarah yang ada.
Kasus pembakaran ini bermula dari permintaan Menteri Pendidikan Nasional kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku-buku pelajaran sejarah. Menteri mendapat laporan tentang beredarnya buku pelajaran sejarah yang ”tidak akurat”. Kejaksaan Agung mengecek. Hasilnya, buku pelajaran sejarah yang mengacu pada kurikulum 2004 pada Maret lalu dilarang beredar.
Alasannya, buku itu tidak menuliskan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 serta tidak menyertakan peran PKI dalam peristiwa G-30-S. Pengadaannya pun tak diperbolehkan karena dipandang menyebarkan pengetahuan yang sesat. Mungkin pejabat di kejaksaan lupa bahwa hukum tidak bisa melarang perbedaan pendapat dalam proses mencari kebenaran sejarah. Hukum diperlukan bila ada penggunaan kekerasan untuk memaksakan pemikiran. Maka Tempo menganjurkan agar surat keputusan Jaksa Agung pada Maret 2007 yang melarang peredaran dan pengadaan buku-buku itu segera dicabut.
Ada baiknya kita berkaca nun jauh ke Venezuela, negeri Presiden Hugo Chavez. Salah satu cara dia untuk berbakti kepada rakyatnya adalah membebaskan mereka dari buta huruf. Ia menghujani warganya dengan jutaan buku gratis, mendorong mereka membaca dan menghormati buku. Nurmahmudi serta para pejabat lain perlu belajar dari pemimpin Venezuela itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo