Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Si Anak Dihukum, Si Guru Dipukul,...

Di sekolah-sekolah indonesia, hubungan sekolah dan murid dilihat sebagai hubungan yang menguasai dan di kuasai. guru dipandang sebagai sabda kebenaran. murid adalah orang yang dikuasai guru. (es)

4 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GURU Darianto dipukul, dan rahangnya retak. Seorang letnan kolonel polisi telah melakukannya hingga, tiba-tiba, sekolah dasar yang terselip di Kota Surabaya itu jadi pentas kecil bagi sebuah masalah Indonesia yang besar: bagaimana orang menggunakan kekuasaan (lihat Kriminalitas). Tentu, perwira polisi itu salah. Ia, orang yang bersenjata, seharusnya lebih sabar dan rendah hati menghadapi orang yang tak bersenjata, tak berpasukan. Tak heran bila Garnisun Surabaya secara resmi minta maaf atas perbuatan Letnan Kolonel "Y". Tapi seandainya Anda jadi dia. Atau seandainya "Y" diberi kesempatan bicara di depan publik, menjelaskan alasannya. Mungkin ia akan berkata, "Baiklah, saya memang telah pukul guru itu. Tapi bagaimana dengan nasib anak saya?" Anak itu masih kecil, mungkin belum lagi 10 tahun. Baru di kelas III. Tapi Guru Darianto telah menghukumnya - dan itulah yang menyebabkan Polisi "Y" naik pitam. Pada suatu hari, Pak Guru bertanya di depan kelas, apa makanan utama penduduk Jawa Timur dan Indonesia?. Si anak langsung menjawab (sonder mengangkat tangan lebih dulu), "Tahu campur!" Guru Darianto segera merasa perlu menyuruhnya berjongkok di depan kelas - bahkan, menurut versi lain, telah menendangnya. Apa salah anak itu? Terus terang, sukar untuk menjawabnya. Seandainya suasana lebih santai, atau saling mempercayai, apa yang dilakukan si anak sebenarnya bisa dihargai dengan sederai ketawa: suatu apresiasi untuk sebuah lelucon yang tangkas. Tapi apa mau dikata. Di sekolah-sekolah Indonesia, khususnya di tempat yang sangat membanggakan "disiplin", hubungan antara sekolah dan murid hampir sepenuhnya hubungan antara yang menguasai dan dikuasai. Sekolah mengedepankan guru di depan murid. Tokoh ini diproyeksikan jadi penentu kata akhir, baik tentang kesalahan gramatika maupun kesalahan akhlak. Ia hampir sabda kebenaran, mungkin dengan "K". Guru, sesuai dengan warisan dalam kesadaran kita, lebih dari sekadar teacher. Kata guru lebih lazim diterjemahkan jadi master. Sudah jadi klise bahwa guru, menurut permainan kata khas Jawa, berarti digugu dan ditiru, yang dipatuhi dan dijadikan teladan. Dalam banyak hal, terutama kini, perseps itu jauh meleset dari kenyataan dan kemungkinan. Bukan semata-mata karena guru digaji sangat buruk dan para murid tak jarang lebih kaya. Tapi karena sang guru, yang dilambungkan dengan rasa hormat dan sentimentalitas kita itu, mau tak mau terbentur pada kenyataan in: ilmu pengetahuan dan informasi teramat cepat berkembang. Apa yang disajikan di sekolah, tak terelakkan lagi, selalu mudah ketinggalan. Tak banyak diungkapkan kepada murid dan orangtua mereka, tentu, bahwa sekolah dan guru tak mampu menguasai perkembangan ilmu dan informasi itu. Pengetahuan justru lebih merupakan proses, sejumlah dugaan dan perdebatan, sederajat alternatif awaban. Slapa yang blsa berlagak menguasamya? Tak siapa pun. Tapi tetap saja Pak Guru harus berwibawa. Dia harus pemilik angka tertinggi: 10 untuk Gusti Allah, 9 untuk dia, dan 8 baru untuk murid yang terpandai. Maka, guru, setidaknya dalam mengajar di depan kelas, berpretensi seakan ia tak sedang berada dalam proses mencari. Maka, ia pun tak mengajak murid mencari. Murid sebaiknya diam - juga rasa ingin tahunya, rasa humornya, dan imajimasinya. Akhirnya, anak-anak itu pun kehilangan jalan yang tak ada pada peta, kata yang tak ada pada sebuah kamus, rumus yang tak terdaftar pada kitab. Mereka hanya orang yang dikuasai: sekolah adalah tempat pertama perkenalan dengan kehidupan tanpa hak. Tak heran bila murid bisa dihukum tanpa bisa membela diri. Tak heran bila ia bertepuk buat seorang jagoan, mungkin si bapak, yang datang dengan cara satu-satunya yang ia kenal: cara kekuasaan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus