Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Stop Pemakaian Plastik

Upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggalakkan program pemakaian kantong plastik berbayar patut didukung. Ini program yang bagus, meski bisa disebut telat karena Indonesia kini telah menjadi "negeri produsen sampah plastik" terbesar kedua di dunia setelah Cina. Dengan cara ini, diharapkan sampah kantong plastik akan turun sampai 30 persen.

11 Februari 2016 | 22.26 WIB

Stop Pemakaian Plastik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Upaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggalakkan program pemakaian kantong plastik berbayar patut didukung. Ini program yang bagus, meski bisa disebut telat karena Indonesia kini telah menjadi "negeri produsen sampah plastik" terbesar kedua di dunia setelah Cina. Dengan cara ini, diharapkan sampah kantong plastik akan turun sampai 30 persen.

Dengan jumlah penduduk seperlima dari Cina dan sampah plastik sebanyak 187,2 juta ton, rasio sampah plastik tiap orang Indonesia per tahun 0,75 ton. Jika tak ditanggulangi, sampah sebesar itu pada 2020 bisa dipakai untuk "menutupi" Kota Bandung!

Bukan hanya di darat, jumlah sampah plastik di perairan Indonesia pun menempati urutan tertinggi di seluruh dunia. Memang, laut Indonesia luas. Tapi tentu tak bisa menjadi justifikasi bahwa bangsa ini boleh mengotorinya dengan sampah. Timbunan sampah akan merusak biota di sana. Dan, sampah plastik itu memerlukan waktu 50-100 tahun untuk bisa terurai.

Kementerian Lingkungan Hidup kini tengah menguji coba program plastik berbayar, seraya mengkampanyekan pemakaian plastik berbahan tapioka yang bisa cepat terurai di alam. Kementerian Lingkungan, Kementerian Perdagangan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia masih menggodok harga yang pas jika plastik tersebut dijual. Sejauh ini harganya diperkirakan sekitar Rp 500 per lembar. Sekitar 20 daerah menyatakan komitmennya menjalankan aturan kantong berbayar itu.

Di negara maju, yang sudah menyadari bahwa plastik adalah perusak lingkungan, pemerintahnya mengenakan harga pada plastik yang dipakai masyarakat. Di Hiroshima, Jepang, misalnya, pemerintah setempat memaksa penduduk memilah sembilan jenis sampah dengan bungkus plastik berbeda-beda. Sampah harus dipilah dengan rapi sebelum diangkut truk. Jika melanggar, sampah tak diangkut dan pemiliknya dikenai denda.

Di Jepang, pajak menjadi instrumen untuk memaksa masyarakat turut dalam kebijakan pemerintah. Uang pajak itu antara lain dipakai mendirikan pabrik-pabrik daur ulang yang memanfaatkan sampah kembali menjadi barang-barang berguna. Di supermarket, pembungkus barang berupa kertas, yang tak merusak lingkungan. Jepang merupakan contoh negara yang mengelola sampah dari produksi, pemakaian, hingga pemanfaatannya kembali agar tak merusak lingkungan.

Di Indonesia, potensi seperti itu sebenarnya banyak. Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah mengembangkan dan membuat plastik berbahan tapioka yang mudah terurai jika menjadi sampah. Hanya, inovasi ini tak didukung teknologi supaya bisa menjadi produk massal yang dapat digunakan dan memaksa publik memakainya.

Pemerintah perlu mendorong universitas dan lembaga penelitian mengembangkan lebih banyak lagi bahan baku plastik yang mudah terurai, lalu memaksa industri memakainya. Selain itu, perlu digalakkan terus-menerus pemakaian bahan-bahan non-plastik oleh masyarakat, terutama saat berbelanja. Kita tak ingin daratan dan laut kita rusak karena sampah plastik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus