Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sudahkah Galatama Jadi Kebutuhan

Galatama harus meningkatkan mutu, dapat memberikan kompensasi dalam bentuk permainan yang bersemangat, untuk menarik penonton. Beberapa stadion memasang tarif mahal, meresahkan galatama yang tergantung karcis.

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kadir Yusuf, Ketua Komisi Galatama PSSI, pekan lalu mengajukan permintaan berhenti dari jabatan tersebut. Alasannya ia sudah tua, 67 tahun. Tapi tampaknya ia lebih menyukui ikut membina Galatama dari luar, lewat tulisan. Atas permintaan TEMPO, ia menurunkan tulisan berikut. KOOMPETISI Galatama diresmikan pada tanggal 17 dan 18 Maret yang lalu di Stadion Utama Senayan. Setiap malamnya langsung dua pertandingan. Malam pertama menurut ukuran klub, menarik perhatian cukup besar. Sekitar 3540 ribu penonton hadir. Agak di luar dugaan. Pada pertandingan malam kedua jauh berkurang. Namun dalam pertandingan Tunas Inti-Niac Mitra di Menteng dan Perkesa 78 Pardedetex di Bogor jumlahnya lumayan besar. Sekitar 15.000. Ini menandakan Galatama mempunyai hari depan yang cukup cerah. Lebih-lebih sebagian besar penonton merasa puas dengan permainan yang mereka sajikan. Kini yang penting bagaimana menjalin kerjasama yang erat di antara para pemain, pelatth, pengurus klub dan pengurus PSSI. Untuk apa? Tentu saja untuk menjadikan Galatama unsur penyokong peningkatan mutu sepakbola nasional. Dan juga untuk menarik minat penonton. Agar dengan demikian klub-klub Galatama dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Merasa Kecewa Penonton memang faktor menentukan. Mereka perlu dirangsang dengan peragaan permainan yang bermutu. Ini makan waktu. Karenanya, sebelum mutu dapat ditingkatkan Galatama harus dapat memberi kompensasi dalam bentuk permainan yang bersemangat, penuh tekad, daya-tahan yang baik dan tidak jorok. Contohnya: Pertandingan Arseto-Pardedetex, Perkesa 78-Sari Bumi Raya, Indonesia Muda-Niac Mitra, Tunas Inti-Niac Mitra. Pun Cahaya Kita-Sari Bumi Raya. Sedang pertandingan Warna Agung- Jayakarta saya nilai kurang memuaskan sebagai tontonan, walaupun pemain kedua klub menghimpun banyak pemain top. Warna Agung bermain lamban, tanpa kejutan dan banyak menunjukkan permainan perorangan yang tidak efektif. Di samping faktor teknis permainan itu faktor servis dan lingkungan ikut mempengaruhi penonton. Penonton harus dibikin betah seperti menyaksikan di rumah sendiri. Harus diperketat pengamanan di dalam dan di luar lapangan dari kericuhan yang bisa mengurangi niat penonton menjadi langganan tetap Galatama. Tempat duduk juga harus bersih. Dan jika memilih stadion tempat bertanding, carilah yang mudah ditempuh dengan fasilitas parkirnya. Sekali-sekali perlu juga ditampilkan muka baru oleh kesebelasan yang bertanding. Sayang sekali kabarnya beberapa stadion mendadak memasang tarif mahal khusus untuk Galatama. Sehingga beberapa Klub terpaksa mencari lapangan lain. Pertandingan sepakbola sebagai rekreasi pasif amat besar artinya bagi daerah yang bersangkutan, terutama daerah industri. Ini merugikan masyarakat setempat: pedagang kecil, tukang parkir, tukang becak, buruh pabrik dan lain sebagainya. Jika kita lihat ada negara yang kotaprajanya mensponsori klub sepakbola prof untuk maksud tersebut, urungnya suatu pertandingan semata-mata karena tarif sewa lapangan yang tak terbayar, sungguh patut disayangkan. Seingat saya, di Jerman Barat yang sudah maju. hanya dua klub saja dari sekian hanyak klub Bundesliga yang memiliki stadion sendiri. Hal lain yang memprihatinkan: jumlalI karcis yang terjual tak sesuai dengan jumlah penonton yang hadir. Arseto misalnya, merasa kecewa dengan hasil yang hanya Rp 20 juta lebih untuk dua hari pertandingan. Pada hal jumlah penonton diperkirakan 35-40 ribu, harga karcis VIP Barat Rp. 5.000. Demikian juga dengan Niac Mitra yang bertanding di Stadion Menteng lawan Tunas Inti. Penonton hampir memenuhi stadion tapi karcis yang terjual tidak sampai 3.000 lembar. Jika mati-hidupnya suatu klub Galatama digantungkan pada hasil karcis, dapat dibayangkan betapa gelisahnya klub tersebut. Gelanggang Eksperimen Hari-hari awal kompetisi Galatauna membesarkan hati. Sepakbola merupakan tontonan paling populer bagi 130 juta penduduk Indonesia. Saya kira seandainya nanti penjualan karcis sudah agak memadai jumlah penonton, masih ada faktor lain yang pernah dikemukakan Joop Niezen, pemimpin redaksi Voetbal International, yang patut-kita perhatika. Begini: "Segala macam adegan ketrampilan yang memukau dapat diperagakan dalam suatu pertandingan. Selama 2 x 45 menit bisa terjadi peristiwa-peristiwa yang unik. Pendeknya disuguhkan hal-hal yang membikin penonton keranjingan. Tapi ingat, jika sampai ada perkumpulan yang bangkrut, jangan ampai sepakbola itu sendiri yang disalahkan. Yang salah adalah mereka yang terlibat dalam pemlainan itu sendili para pemain, pelatih, pengurus, penonton dan sebagainya. Ketika sepakbola bayaran di negeri Belanda dimulai pada tahun 1954, keadaannya sangat memberi harapan. Produk yang diperlihatkan mengalami banyak kemajuan. Sukses besar. Tapi belum terpikir, itu semua tidak lagi menjamin stadion akan tetap dikunjungi penonton. Masyarakat di tahun 1970 telah berubah. Mereka dibujuk berbagai ragam hiburan. Terlalu naif, jika orang hanya mengharapkan kunjungan penonton tanpa berusaha menjual dan mencari langganan. Dengan mutu terbaik tentunya. Itu sekedar sentilan bagi Galatama yang baru mengawali kegiatannya Di lain pihak yang tak kurang pentingnya adalah peran panitia wasit. Ia dituntut juga untuk tidak memperlakukan kompetisi Galatama sebagai gelanggang eksperimen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus