Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
RANO Karno dan Airin bersaing untuk merebut kursi wakil bupati. Lho, hanya wakil? Memang. Keduanya adalah calon Wakil Bupati Tangerang. Hari-hari kemarin, ditutup pada akhir pekan lalu, warga Tangerang, atau ”warga Jakarta dengan KTP Tangerang”, sering melihat wajah Rano Karno dan Airin yang terpampang pada poster-poster sepanjang tembok ataupun pada spanduk-spanduk yang bergelantungan di jalan besar dan kecil.
Nah, siapakah calon bupatinya? Kenapa yang tersebut oleh saya hanya Rano Karno dan Airin, seolah-olah yang bersaing hanyalah para calon wakil bupati, itu pun yang dua orang itu saja? Tentu saja, inilah risiko kampanye politik, yang—disadari atau tidak—menggunakan strategi iklan produk komoditas untuk memenangkan dirinya sendiri. Harus ada sesuatu pada diri calon bupati yang ”dijual”, yang kira-kira akan membuat rakyat Tangerang memilih atau, dalam konteks ini, ”membeli”-nya.
Jika wakil bupatinya adalah Rano Karno, bukankah dia sudah begitu terkenalnya, dari Si Doel Anak Betawi sampai Si Doel Anak Sekolahan, sebagai selebritas yang anggaplah membumi? Jika wakil bupatinya adalah Airin, itu bukan saja konsep sang calon bupati bahwa pasangan terbaik adalah ”laki-perempuan” dan bukan 4L (”lelaki lagi lelaki lagi”—seperti tertulis di spanduk), tapi juga bahwa calon wakil bupati ini sangat cantik. Jika kemasyhuran dan prestasi Rano Karno mungkin yang dijual sebagai ”bukti” (juga tertulis dalam spanduk), isu gender dalam kampanye Airin jelas diandalkan untuk meraih ”seluruh” suara perempuan Tangerang—buktinya, ada juga poster ”Lomba Mirip Airin”, tentu dengan wajah Airin pada poster itu, dan tentu hanya bisa diikuti perempuan.
Sampai di sini, belum juga saya sebut nama para calon bupati. Kenapa? Karena saya memang tidak dapat mengingatnya, meski mereka itulah para calon bupatinya! Mengapa hanya wakilnya yang teringat oleh saya, dan kemungkinan oleh banyak orang yang lewat di jalan sebagai sasaran baliho, spanduk, dan poster-poster itu? Saya kira karena kampanye itu ”berhasil”, tentu saja sebagai iklan—sedangkan iklan atau advertensi telah diperbincangkan dalam wilayah Kajian Budaya (sebagaimana saya rujuk dari The SAGE Dictionary of Cultural Studies susunan Chris Barker) dengan wacana teoretis yang langsung diterapkan seperti berikut ini.
Pertama, iklan telah menjadi penanda budaya pascamodernisme, tempat yang visual melampaui yang verbal, maupun tempat berlangsungnya estetisasi umum dalam kehidupan budaya sehari-hari yang disebabkan oleh peranan iklan tersebut. Dalam situasi itu, globalisasi teknologi komunikasi, terutama televisi, telah menempatkan iklan berbasis visual sebagai pusat budaya konsumer yang semakin mendunia. Nah, bukankah suksesnya strategi memasang wajah Rano Karno (yang sudah terkenal melalui film, tapi semakin tergandakan melalui televisi) dan wajah Airin (ketika ”kecantikan” menjadi bagian dari faktor determinan hubungan kuasa dalam televisi) dengan begitu memang sangat beralasan?
Kedua, tugas iklan memang menciptakan ”identitas” bagi suatu produk, dalam hiruk-pikuk imaji-imaji (visual) para kompetitornya, dengan cara menghubungkan ”merek” itu dengan ”nilai-nilai kemanusiaan” sebagai daya tarik yang diandaikan memenuhi ideologi para konsumer. Jadi ”identitas” atau ”merek” itu bukan sekadar menandai suatu produk, melainkan penanda bagi petanda yang harus jelas maksudnya. Maka baik peci dan selempang sebagai pelengkap baju putih Rano maupun jilbab dan busana Airin juga merupakan penanda yang terlalu jelas bagi petanda yang dituju para perancang kampanye mereka: terhubungkan dengan ”nilai-nilai” yang diandaikan dominan di wilayah Kabupaten Tangerang, tempat para konsumer (baca: calon pemilih) diharap dengan mudah ”memecahkan kode” yang dimaksud.
Ketiga, mengacu kepada Baudrillard, nilai-tanda menjadi mapan melalui iklan yang memberikan prestise dan memaknai nilai, status, dan kuasa sosial. Suatu komoditas bukanlah obyek dengan nilai-guna, melainkan tanda-komoditas, yang membuat budaya pascamodernisme, baik secara harfiah maupun simbolik, memang superficial, yakni merupakan ”tampak luar” sahaja. Maka, menyangkut materi perbincangan kita, memang ternyata cukup gambar-gambar itu saja, dengan warna-warna gemilang dan kata-kata yang sangat ekonomis, yang bersaing merebut pemilih; bukan pikiran-pikiran ”kenegaraan” (baca: ”ke-kabupaten-an”), yang saya bayangkan mestinya lebih dikuasai para calon bupati daripada calon wakilnya.
Dengan demikian, bukankah masuk akal jika keberhasilan kampanye politik dengan strategi iklan produk komoditas ini membuat para calon wakil bupati (seolah-olah) lebih superior daripada calon bupatinya? Tentu masih terbuka perbincangan untuk menilainya sebagai keberhasilan atau bukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo