Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Arah Pendanaan Hijau dalam Taksonomi Terbaru

Pembaruan Taksonomi Hijau Indonesia menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sektor industri yang masih menimbulkan emisi karbon malah dimasukkan ke dokumen terbaru tersebut.

15 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Farah Vianda dan Aulia Anis
Koordinator Keuangan Berkelanjutan dan Staf Program Ekonomi Hijau IESR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Taksonomi Hijau Indonesia (THI) akhirnya diperbarui melalui peluncuran Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) oleh Otoritas Jasa Keuangan pada pertengahan Februari lalu. Sebagaimana dalam ilmu biologi, istilah "taksonomi" yang digunakan dalam sektor keuangan berkelanjutan berfungsi sebagai pedoman klasifikasi aktivitas perekonomian yang mendukung, menuju (transisi), ataupun bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembaruan THI menjadi TKBI merupakan respons atas perkembangan komitmen iklim global serta pembaruan dokumen taksonomi berkelanjutan ASEAN. Namun, dalam dokumen baru tersebut, OJK meninggalkan kategorisasi yang awalnya ibarat lampu lalu lintas, yang ditandai dengan warna merah, kuning, dan hijau sebagai klasifikasi aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.

Dalam TKBI, kategorisasi itu menjadi hanya "hijau" dan "transisi". Perubahan tersebut menimbulkan kecurigaan, apakah hal itu merupakan upaya memasukkan kegiatan yang masih menghasilkan emisi karbon agar tetap memperoleh pendanaan?

Harus diakui, inisiatif pembaruan taksonomi hijau merupakan langkah progresif pemerintah dalam mendukung ekosistem keuangan berkelanjutan di Indonesia. TKBI dapat menjadi pedoman investasi hijau bagi pemain pasar ataupun regulator. Beberapa poin pembaruan dalam TKBI juga perlu diapresiasi, misalnya pemenuhan aspek sosial yang cukup ketat sebagai salah satu syarat penentu pelabelan "hijau". Selain itu, kombinasi kriteria teknis kuantitatif berbasis sains dan kualitatif sudah sejalan dengan perkembangan standar taksonomi di negara lain.

Kehadiran TKBI juga tampak lebih sejalan dengan komitmen pemerintah terhadap transisi energi, walaupun terdapat beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan. Salah satu catatan itu adalah TKBI masih memasukkan aktivitas pembangkit listrik tenaga uap existing dan pembangunan PLTU baru yang terintegrasi dengan industri ke kategori "transisi".

Hal tersebut kontradiktif dengan dokumen sebelumnya, yakni Taksonomi Hijau Indonesia. Dalam THI, pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil masuk kategori "merah" atau dianggap sebagai aktivitas berbahaya. Walaupun pada TKBI terdapat kriteria penurunan gas rumah kaca sampai 35 persen dalam 10 tahun mendatang, angka pembandingnya adalah rata-rata emisi PLTU nasional, bukan emisi dasar pembangkit tersebut.

Perubahan kategorisasi itu akan berdampak pada aktivitas pertambangan dan penggalian mineral, seperti tembaga, nikel, dan timah. Masuknya kegiatan pertambangan mineral untuk mendukung industri transisi energi, seperti produksi kendaraan listrik dan baterai, juga menimbulkan pertanyaan lain. Bagaimana memastikan hasil pertambangan tersebut mengalir untuk industri yang memang berhubungan dengan transisi energi?

Satu poin yang menarik pada pembaruan taksonomi adalah terbukanya peluang pembiayaan untuk penutupan PLTU batu bara. Dalam TKBI, aktivitas ini masuk kategori "hijau" dan "transisi" dengan batas waktu yang jelas. Hal ini menjadi sinyal bagi para investor dan lembaga keuangan yang masih membiayai PLTU dengan syarat tertentu. Di sisi lain, hal ini juga mengurangi beban pemerintah Indonesia untuk mendapat pendanaan transisi energi dari sektor swasta yang memiliki prinsip keberlanjutan. 

TKBI merupakan langkah awal dalam pengembangan ekosistem keuangan berkelanjutan di Indonesia. Untuk secara riil menepis dampak buruk krisis iklim dan memastikan transisi energi berjalan, TKBI perlu dimanfaatkan sebagai basis penyusunan kebijakan lanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan, misalnya, mengatur jumlah portofolio pendanaan pada sektor atau aktivitas yang dianggap tidak memenuhi syarat klasifikasi. Selain itu, TKBI dapat dijadikan basis dalam pemberian insentif kemudahan produk keuangan untuk mendorong penerapan TKBI secara luas dan meningkatkan industri energi hijau.

Kehadiran TKBI juga menjadi angin segar untuk klasifikasi proyek yang masuk komitmen global transisi energi Indonesia. Dengan adanya Just Energy Transition Partnership serta Energy Transition Mechanism, TKBI dapat menjadi pedoman dalam menentukan kelayakan kategorisasi aktivitas dalam kedua skema tersebut ke depan serta sebagai acuan dalam memobilisasi pendanaan privat.

Sebagai living document, TKBI diharapkan dapat memperbarui kriteria secara berkala untuk mengikuti perkembangan isu serta menghindari praktik greenwashing. Dalam hal ini, kredibilitas TKBI menjadi sangat penting bagi sektor jasa keuangan, terutama para pelaku pasar modal global. TKBI yang kredibel dapat menjadi angin segar, yang akan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap investasi hijau di Indonesia.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Farah Vianda

Farah Vianda

Koordinator Keuangan Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus