Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Teater Arief Budiman: Sebuah Kritik

Seorang tukang protes profesional, Arief Budiman, di tengah panasnya kampanye pemilu 1971 muncul sebagai tokoh golongan putih. tujuannya utk mengembalikan akal sehat penguasa untuk diluruskan kembali.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA sebenarnja tak perlu djadi seorang pembangkang. Umurnja 30, sardjana psichologi jang berpenghasilan laik, bapak sepasang anak dan kepala rumahtangga jang tanpa kekurangan (TV, skuter, kamera, musik, buku -- semua hasil keringatnja) serta reputasi jang lumajan sebagai penulis. Rambutnjapun ditjukur amat pendek, dan meskipun tingkahlakunja mungkin tidak netjis, dia bukan tipe urakan. Tapi itu mungkin tjuma sosok lahirnja. Sebab gambaran Arief Budiman kini hampir 1.00O identik dengan seorang "tukang protes" profesionai. Dia berada dipusat Mahasiswa Menggugat dan Komite Anti Korupsi, dia aktif dalam Wartawan Generasi Muda ketika keritjuhan PWI terdjadi, dan jang terachir, ditengah panasnja kmpanje Pemilu 1971, dia muntjul lagi sebagai seorang tokoh Golongan Putih. Dia bukan orator dan bukan agitator. Tapi disamping puluhan tulisannja disuratkabar jang rata-rata memantjing polemik, dia bisa bergairah menulis petisi-petisi, pamflet-pamflet dan poster-poster serta ikut dalam rombongan-rombongan demonstran. Hal sematjam itu memang pernah dilakukannja ditahun 1966, lewat Radio Ampera ketika ia membantahi tuduhan-tuduhan rezim 100 Menteri seraja mengedjek "Orde Lama". Dan kini diteruskannja ditahun 1970-1971 ini, sementara penguasa mungkin mentjatatnja sebagai pembandel, salah satu pembangkang jang senantiasa mengganggu. Apa jang sebenarnja diinginkan Arief Budiman? Bukan satu hal baru untuk mengatakan bahwa maksudnja jang sebenarnja ialah untuk selalu memanggil kembali akal sehat dan hatinurani lapisan penting para pembentuk opini publik dan penguasa, agar jang tidak adil dan tidak benar diluruskan kembali. Bukan satu hal baru djika Arief mengatakan gerakan-gerakannja sebagai "gerakan moral". Selama 10 tahun mengenalnja dari dekat dan hampir selalu bersama-sama, saja tahu bahwa ia jakin betul dengan pernjataannja itu. Sebagai seorang jang sedjak umur 20-an mentjintai filsafat dan beberapa lamanja mendjadi murid almarhum Prof. Drijarkara SH, pendirian tersebut tak perlu mengherankan. Namun tak seorangpun bisa mengenal orang lain setjara sempurna. Diantara sela-sela persahabatan kami kadangkadang saja tertegun djuga akan satu hal: ketidak djemuannja buat bolak-balik tampil dalam gerakan-gerakan sematjam itu. Ketidak djemuannja memang mungkin menundjukkan pendirian jang tetap teguh. Dan sangat meragukan bahwa Arief dengan itu semua sebenarnja mentjari publisitas untuk dirinja sendiri: dia sudah tjukup punja reputasi baik sebagai penulis tanpa itu. Meskipun demikian, Arief dewasa ini telah sampai pada satu tingkat jang kurang sehat untuknja sendiri: ia terpaksa mengulang-ulang. Gerakannja jang satu merupakan replika dari gerakannja jang lain jang sebelumnja. Ia kini ibarat Franco Nero dalam film-film Western Italia: djagoan jang itu-itu djuga, dengan tjerita jang itu-itu djuga dan dengan tehnik jang itu-itu djuga. Dan dalam frekwensi jang terlalu sering. Dengan kata lain, agak membosankan. Memang, soal membosankan adalah soal jang sebenarnja kurang tjotjok untuk dihubungkan dengan pergulatan buat memanggili kembali hatinurani dan akal-sehat dimasjarakat kita kini. Hatinurani dan akalsehat disatu fihak dan hal-hal jang djelas tak adil dan tak benar diiain fihak, memang selalu ia mentjiptakan pergulatan jang tak putus-putusnja. Zaman manapun tak akan pernah berhenti mengulangi pergulatan itu -- sebab tak akan pernah ada masjarakat jang sempurna. Tapi bila disini dipakai penilaian "membosankan" seperti penilaian seorang kritikus terhadap satu pertundjukan teater, itu disebabkan karena gerakan-gerakan jang dihadiri Arief tak banjak bedanja dengan satu pertundjukan teater. Ia terdiri dari sedjumlah pemain, berada disuatu pentas jang diusahakan makin terlihat makin baik, dan ia dengan sadar mengundang perhatian. Kerugiannja jang terbesar ialah bila perhatian itu tidak datang -- misalnja djika tak diberitakan pers. Tapi dengan demikian satu unsur pokok harus ditjapai: unsur kebaruan. Pengulang-ulangan Arief kini kian mengikis unsur kebaruan itu, sehingga perkara-perkara penting jang diadjukannja seolah-olah tak penting lagi. Beruntunglah dia, karena fihak-fihak jang merasa dia musuhi melajaninja dengan suara dan tindakan-tindakan jang mengguruh, hingga publisitas terburah kepadanja. Dan dengan demikian, teater jang sebetulnja tidak terlalu baru itu berada kembali dipusat perhatian. Padahal saat itu Arief telah menjadari titik lemahnja sendiri. "Satu-satunja kritik jang paling tepat terhadap Golongan Putih", katanja, "diutjapkan Menteri Budiardjo bahwa gerakan ini terdiri dari orang jang itu-itu djuga". Ia tahu kehadirannja jang berkali-kali dibeberapa aksi-aksi kurang bermanfaat bagi gerakan moralnja untuk memperoleh efek jang lebih segar. Dan saja kira dia tak ingin melihat, seakan-akan kesadaran tentang terantjamnja kehidupan akalsehat dan hatinurani setiap kali hanja merupakan kesadaran segelintir orang -- dia sendiri dan sedjumput kawannja. Sudah tentu tampilnja wadjah Arief jang itu-itu djuga bukan seluruhrlja kesalahan Arief sendiri. Pertama, seperti dikatakannja, pers selalu hanja menondjolkan dia. Mungkin karena namanja tjukup dikenal -- dan pers selalu tjenderung untuk berprinsip "nama terkenal merupakan sumber berita". Kedua, gerakan jang dilakukan Arief bukanlah suatu organisasi dengan kader-kader, jang bisa mengganti tokoh lama dengan wadjah baru. Ia selalu takut untuk terlibat dalam pengelompokan jang melembaga, mempunjai pengurus dan ikatan-ikatan organisatoris. "Sebab itu akan mengundang urusan interest-interest pribadi atau golongan -- dan lagi pula saja tak tjotjok untuk satu organisasi massa". Dan jang terachir, masalah jang penting ialah: tidakkah sebenarnja Arief Budiman bersendiri? Djika Arief kini memang benar merupakan sematjam pemegang lilin keberanian moralis (atau kenekadan, atau kenaifan -- terserah anda), jang menimbulkan harapan atau mendjengkelkan ataupun merisaukan, adakah dia seorang pelari tunggal atau tjuma salah satu pelari estafet? Ditengah-tengah sibuknja urusan Golongan Putih ia berkata: "Saja merindukan buku puisi lagi. Kini saja mulai kembali membatja buku-buku filsafat itu". Arief si-tukang protes jang membosankan saja dan membosankan Menteri Budiardjo, mungkin sudah saatnja untuk kembali dari aksi kekontemplasi. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus