Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA sebenarnja tak perlu djadi seorang pembangkang. Umurnja 30,
sardjana psichologi jang berpenghasilan laik, bapak sepasang
anak dan kepala rumahtangga jang tanpa kekurangan (TV, skuter,
kamera, musik, buku -- semua hasil keringatnja) serta reputasi
jang lumajan sebagai penulis. Rambutnjapun ditjukur amat pendek,
dan meskipun tingkahlakunja mungkin tidak netjis, dia bukan tipe
urakan. Tapi itu mungkin tjuma sosok lahirnja. Sebab gambaran
Arief Budiman kini hampir 1.00O identik dengan seorang "tukang
protes" profesionai. Dia berada dipusat Mahasiswa Menggugat dan
Komite Anti Korupsi, dia aktif dalam Wartawan Generasi Muda
ketika keritjuhan PWI terdjadi, dan jang terachir, ditengah
panasnja kmpanje Pemilu 1971, dia muntjul lagi sebagai seorang
tokoh Golongan Putih. Dia bukan orator dan bukan agitator. Tapi
disamping puluhan tulisannja disuratkabar jang rata-rata
memantjing polemik, dia bisa bergairah menulis petisi-petisi,
pamflet-pamflet dan poster-poster serta ikut dalam
rombongan-rombongan demonstran. Hal sematjam itu memang pernah
dilakukannja ditahun 1966, lewat Radio Ampera ketika ia
membantahi tuduhan-tuduhan rezim 100 Menteri seraja mengedjek
"Orde Lama". Dan kini diteruskannja ditahun 1970-1971 ini,
sementara penguasa mungkin mentjatatnja sebagai pembandel, salah
satu pembangkang jang senantiasa mengganggu.
Apa jang sebenarnja diinginkan Arief Budiman? Bukan satu hal
baru untuk mengatakan bahwa maksudnja jang sebenarnja ialah
untuk selalu memanggil kembali akal sehat dan hatinurani lapisan
penting para pembentuk opini publik dan penguasa, agar jang
tidak adil dan tidak benar diluruskan kembali. Bukan satu hal
baru djika Arief mengatakan gerakan-gerakannja sebagai "gerakan
moral". Selama 10 tahun mengenalnja dari dekat dan hampir selalu
bersama-sama, saja tahu bahwa ia jakin betul dengan
pernjataannja itu. Sebagai seorang jang sedjak umur 20-an
mentjintai filsafat dan beberapa lamanja mendjadi murid almarhum
Prof. Drijarkara SH, pendirian tersebut tak perlu mengherankan.
Namun tak seorangpun bisa mengenal orang lain setjara sempurna.
Diantara sela-sela persahabatan kami kadangkadang saja tertegun
djuga akan satu hal: ketidak djemuannja buat bolak-balik tampil
dalam gerakan-gerakan sematjam itu. Ketidak djemuannja memang
mungkin menundjukkan pendirian jang tetap teguh. Dan sangat
meragukan bahwa Arief dengan itu semua sebenarnja mentjari
publisitas untuk dirinja sendiri: dia sudah tjukup punja
reputasi baik sebagai penulis tanpa itu. Meskipun demikian,
Arief dewasa ini telah sampai pada satu tingkat jang kurang
sehat untuknja sendiri: ia terpaksa mengulang-ulang. Gerakannja
jang satu merupakan replika dari gerakannja jang lain jang
sebelumnja. Ia kini ibarat Franco Nero dalam film-film Western
Italia: djagoan jang itu-itu djuga, dengan tjerita jang itu-itu
djuga dan dengan tehnik jang itu-itu djuga. Dan dalam frekwensi
jang terlalu sering.
Dengan kata lain, agak membosankan. Memang, soal membosankan
adalah soal jang sebenarnja kurang tjotjok untuk dihubungkan
dengan pergulatan buat memanggili kembali hatinurani dan
akal-sehat dimasjarakat kita kini. Hatinurani dan akalsehat
disatu fihak dan hal-hal jang djelas tak adil dan tak benar
diiain fihak, memang selalu ia mentjiptakan pergulatan jang tak
putus-putusnja. Zaman manapun tak akan pernah berhenti
mengulangi pergulatan itu -- sebab tak akan pernah ada
masjarakat jang sempurna. Tapi bila disini dipakai penilaian
"membosankan" seperti penilaian seorang kritikus terhadap satu
pertundjukan teater, itu disebabkan karena gerakan-gerakan jang
dihadiri Arief tak banjak bedanja dengan satu pertundjukan
teater. Ia terdiri dari sedjumlah pemain, berada disuatu pentas
jang diusahakan makin terlihat makin baik, dan ia dengan sadar
mengundang perhatian. Kerugiannja jang terbesar ialah bila
perhatian itu tidak datang -- misalnja djika tak diberitakan
pers.
Tapi dengan demikian satu unsur pokok harus ditjapai: unsur
kebaruan. Pengulang-ulangan Arief kini kian mengikis unsur
kebaruan itu, sehingga perkara-perkara penting jang diadjukannja
seolah-olah tak penting lagi. Beruntunglah dia, karena
fihak-fihak jang merasa dia musuhi melajaninja dengan suara dan
tindakan-tindakan jang mengguruh, hingga publisitas terburah
kepadanja. Dan dengan demikian, teater jang sebetulnja tidak
terlalu baru itu berada kembali dipusat perhatian. Padahal saat
itu Arief telah menjadari titik lemahnja sendiri. "Satu-satunja
kritik jang paling tepat terhadap Golongan Putih", katanja,
"diutjapkan Menteri Budiardjo bahwa gerakan ini terdiri dari
orang jang itu-itu djuga". Ia tahu kehadirannja jang
berkali-kali dibeberapa aksi-aksi kurang bermanfaat bagi gerakan
moralnja untuk memperoleh efek jang lebih segar. Dan saja kira
dia tak ingin melihat, seakan-akan kesadaran tentang
terantjamnja kehidupan akalsehat dan hatinurani setiap kali
hanja merupakan kesadaran segelintir orang -- dia sendiri dan
sedjumput kawannja.
Sudah tentu tampilnja wadjah Arief jang itu-itu djuga bukan
seluruhrlja kesalahan Arief sendiri. Pertama, seperti
dikatakannja, pers selalu hanja menondjolkan dia. Mungkin karena
namanja tjukup dikenal -- dan pers selalu tjenderung untuk
berprinsip "nama terkenal merupakan sumber berita". Kedua,
gerakan jang dilakukan Arief bukanlah suatu organisasi dengan
kader-kader, jang bisa mengganti tokoh lama dengan wadjah baru.
Ia selalu takut untuk terlibat dalam pengelompokan jang
melembaga, mempunjai pengurus dan ikatan-ikatan organisatoris.
"Sebab itu akan mengundang urusan interest-interest pribadi atau
golongan -- dan lagi pula saja tak tjotjok untuk satu organisasi
massa". Dan jang terachir, masalah jang penting ialah: tidakkah
sebenarnja Arief Budiman bersendiri? Djika Arief kini memang
benar merupakan sematjam pemegang lilin keberanian moralis (atau
kenekadan, atau kenaifan -- terserah anda), jang menimbulkan
harapan atau mendjengkelkan ataupun merisaukan, adakah dia
seorang pelari tunggal atau tjuma salah satu pelari estafet?
Ditengah-tengah sibuknja urusan Golongan Putih ia berkata: "Saja
merindukan buku puisi lagi. Kini saja mulai kembali membatja
buku-buku filsafat itu". Arief si-tukang protes jang membosankan
saja dan membosankan Menteri Budiardjo, mungkin sudah saatnja
untuk kembali dari aksi kekontemplasi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo